Tolak Stigma Buruk, Menwa Bukan Ajang Perundungan

Ilustrator: Rafli

Oleh: Widya Sekarwangi (Komandan Menwa Mahadipa Batalyon 950 “Pati Geni” Polines)

Penyunting: Verro Syahdham

Beberapa waktu lalu, kasus Pendidikan Dasar (Diksar) Resimen Mahasiswa (Menwa) Universitas Sebelas Maret (UNS) sempat menggemparkan jagat media sosial karena menewaskan salah satu peserta diksar. Adanya tragedi tersebut, sontak menimbulkan stigma buruk bagi masyarakat luas terhadap Menwa kian menjamur. Hal tersebut turut mempertanyakan terkait reputasi dan kredibilitas dari Menwa kampus lainnya. Dengan semua asumsi yang simpang siur di publik, Menwa Mahadipa Batalyon 950 “Pati Geni” Politeknik Negeri Semarang (Polines) akan angkat bicara mengenai kasus tersebut.

Peristiwa yang terjadi pada diksar Menwa UNS ini tentunya mengakibatkan segenap Menwa di Indonesia menuai imbasnya. Pada masa perekrutan anggota baru kemarin, Menwa Polines sempat dihadapkan dengan menurunnya kuantitas calon pendaftar hingga 50%. Lontaran komentar dan opini netizen di dunia maya pun turut membuat Menwa semakin tersudutkan. Hal ini dikarenakan timbulnya stigma yang menilai bahwa Menwa selalu menggunakan kekerasan dalam setiap kegiatannya. Mirisnya, salah satu anggota Menwa Polines yang sempat mendapatkan sindiran seperti, “Ojo digebuki lho!” yang artinya “jangan dipukuli!”.

Banyaknya spekulasi yang bersifat negatif, membuat saya selaku komandan Menwa di Polines mengklarifikasi permasalahan ini kepada beberapa pihak, baik orang tua maupun mahasiswa. Kami menerangkan tentang segala kegiatan yang dilaksanakan secara mendetail agar tidak terjadi kesalahpahaman. Kemudian, dari pihak institusi serta alumni Menwa pun turut bersuara dan mewanti-wanti kepada kami untuk melakukan semua kegiatan dalam batas wajar.

Santer terdengar komentar dari dari netizen Twitter pula yang menyatakan “Menwa lebih baik dihapus saja dari keorganisasian kampus!”. Munculnya pernyataan tersebut, tentu membuat saya tidak setuju karena sebenarnya Menwa sendiri banyak memiliki program kerja dan kegiatan yang positif. Menwa merupakan wadah bagi para anggotanya untuk mengasah kedisiplinan, kepercayaan diri, dan loyalitas setiap anggota. Menwa juga menjadi media untuk membentuk mental dan karakter mereka agar kelak dapat berguna untuk masa depan. Menwa memang berfokus ke dalam aktivitas semi-militernya. Baik berperan sebagai pendamping dalam pelaksanaan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) maupun sebagai pengawal Direktur ketika upacara.

Menwa tidak hanya terkungkung pada kegiatan semi-militer yang terkesan “kaku”. Terdapat banyak kegiatan pengabdian lain, tentunya hal tersebut bertujuan untuk menumbuhkan jiwa kemanusiaan. Layaknya bakti sosial dan penerjunan relawan ketika ada bencana alam.

Kemudian hal terakhir yang ingin saya sampaikan adalah kejadian Menwa UNS sebenarnya merupakan acara Pra Pendidikan dan Pelatihan (Pradiklat), karena cakupan kegiatannya masih dalam level mikro dan internal. Setelah kegiatan pradiklat terlaksana, akan dilanjutkan dengan diksar. Diksar sendiri biasanya dilaksanakan pada tingkat provinsi dan di-handle langsung oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini menjadikan tragedi Menwa UNS, sebenarnya tidak memiliki sangkut paut terhadap Menwa se-provinsi apalagi Menwa dalam skala nasional.

Terlepas dari semua hal di atas, Menwa bukanlah tempat untuk ajang “balas dendam” dari para senior ke anggota barunya. Dengan terjadinya peristiwa ini, tentunya harus bisa menjadi titik refleksi serta evaluasi bagi Menwa untuk lebih berhati-hati dalam menyelenggarakan beberapa kegiatan. Harapannya, semoga masyarakat dapat melihat kembali berbagai kegiatan, dampak positif yang diberikan oleh Menwa dan tidak memukul rata bahwa Menwa se-Indonesia sama saja. 

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai