Angin Segar di Tengah Hampanya Regulasi Negeri

Ilustrasi: Ranira

Perempuan adalah makhluk Tuhan yang lemah. Tak ayal stigma tersebut pasti pernah terlintas di telinga kalian. Dianggap sebagai makhluk yang lemah membuat ‘perempuan’ rentan akan adanya ancaman, bahaya, dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh sesama maupun lawan jenisnya. Salah satunya ialah kekerasan seksual yang masih marak terjadi. Meskipun begitu, kekerasan seksual menjadi momok yang menakutkan bagi semua kalangan. Tak hanya bagi kaum perempuan, tapi hal ini dapat terjadi pula pada kaum adam. Tak memandang tua, muda, berpendidikan, berpangkat, atau berkuasa tidaknya, kekerasan seksual dapat terjadi dimanapun dan kapanpun. Sayangnya, payung hukum Indonesia terhadap kekerasan seksual masih lemah dan hampa. Tak banyak regulasi yang mengatur secara jelas dan rinci terkait tindak lanjut dan kepastian hukum akan perlindungan terhadap kekerasan seksual.

Anggapan sebagai ‘makhluk lemah’ inilah yang membuat beberapa oknum bertindak sewenang-wenang terhadap perempuan. Seperti halnya pada kasus kekerasan seksual, yang mana beberapa kalangan mengungkapkan hal ini terjadi karena adanya relasi kuasa. Relasi kuasa diartikan sebagai adanya kuasa yang dimiliki pelaku, sehingga merasa memiliki hak dan tidak merasa bersalah atas tindakan asusila yang dilakukannya. Perilaku ini dapat terjadi pada dosen dan mahasiswa, orang tua dan anak, bos dan karyawan, bahkan seseorang dengan orang yang disukai atau yang dikaguminya, walaupun tidak ada hubungan langsung. Pada akhirnya, memilih bungkam dan terpaksa bungkam menjadi pilihan korban. Hal ini menyebabkan kasus kekerasan seksual yang terekspos tidak sebanyak dengan kenyataan yang terjadi. Tidak adanya regulasi kuat yang mengatur pun menjadi salah satu penyebab bungkamnya para korban. 

Lingkungan kampus yang seharusnya menjadi tempat nyaman dan aman untuk belajar, nyatanya juga menjadi saksi bisu kekerasan seksual yang terjadi kepada civitas akademik. Beruntungnya, terdapat angin segar dalam regulasi pemerintahan mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Belum lama ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengesahkan Peraturan Mentari Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 tahun 2021, terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Alih-alih disambut baik sepenuhnya, Permendikbud ini sempat menuai kontroversi masyarakat. 

Beberapa poin menjadi titik kontroversi Peraturan Menteri tersebut. Salah satunya ialah terdapat pada frasa “tanpa persetujuan korban”, sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m. Sejumlah kalangan menilai frasa tersebut menimbulkan multitafsir. Kalangan lain menilai Kemendikbudristek telah melegalkan seks bebas berdasarkan pernyataan pada pasal 5 ayat (2) tersebut.

https://jdih.kemdikbud.go.id

Sebenarnya, keberadaan peraturan ini merupakan angin segar dalam payung hukum, sembari menunggu Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang masih belum disahkan. Namun, mengapa masih diperdebatkan dalam beberapa hal? saat RUU TPKS tak kunjung disahkan, masyarakat berdemo unjuk rasa meminta agar segera disahkan. Lalu muncullah Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini, sebagai regulasi yang mengatur tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus. Bahkan telah terinci 21 bentuk kekerasan seksual yang dilarang, baik verbal, fisik, nonfisik, ataupun melalui media sosial, tetapi masih menjadi perdebatan pro dan kontra. 

Terlepas dari pro-kontra yang timbul, pada peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini, sebagai elemen mahasiswa sepatutnya ikut berpartisipasi dalam kampanye tindakan anti kekerasan kepada perempuan. Salah satu caranya ialah dengan tidak melakukan tindakan kekerasan seksual. Permendikbud ini merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung tindakan anti kekerasan terhadap perempuan pada lingkup kecil, yaitu lingkup perguruan tinggi. Mari bekerja sama mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dimulai dari lingkungan sekitar. Perempuan bukan makhluk yang lemah, karena sejatinya semua makhluk adalah sama.

Redaksi

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai