Upaya Pelemahan KPK
“Korupsi itu adalah tindakan kejahatan yang ekstra ordinary, ekstra yang luar biasa, sehingga pidana korupsi itu masuk ke dalam pidana khusus yang memang penanganannya harus khusus, karena modusnya juga khusus.”Roffiudin, perwakilan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN), membuka penjelasan ihwal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam diskusi “ngobrol pintar” yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan Fakultas Hukum Undip, Selasa (10/11).
Pernyataan yang sangat beralasan mengingat tindak pidana pencurian uang negara atau lebih dikenal dengan sebutan “korupsi” telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Korupsi telah menjadi rahasia umum. Contoh yangcukup akrab terjadi di masyarakat adalah fenomena Surat Ijin Mengemudi (SIM)“nembak”, kasus suap untuk menjadi anggota kepolisian atau Pegawai Negeri Sipil, dan sederet kasus korupsi lain yang akan panjang jika dibeberkan di tulisan ini.
Pembentukan KPK
Abdurahman Wahid, Presiden keempat Indonesia menyatakan bahwa lumbung telah dikuasai tikus, perandaian yang menggambarkan sebagian besar perangkat negara telah menjelma jadi koruptor. Kondisi demikian yang akhirnya memunculkan gagasan pembentukan lembaga independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di era pemerintahan Presiden Megawati. Saat itu, pada tahun 2002, kasus korupsi masih ditangani oleh lembaga penegak hukum (kejaksaan agung dan kepolisian). Namun adanya kebrobokan di tubuh lembaga penegak hukum sendiri pada akhirnya mendorong pembentukan KPK sebagai lembaga independen yang fokus menangani kasus korupsi.
KPK Lembaga Ad-Hoc
Berlandaskan pada ketetapan MPR No. 8 Tahun 2001 tentang rekomendasi pencegahan dan pemberantasan korupsi, akhirnya Negara melalui Undang-undang Republik Indonesia No.30 Tahun 2002 membentuk KPK. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut ada beberapa pihak yang menafsirkan KPK sebagai lembaga ad-hoc, yang artinya lembaga yang dibentuk berdasarkan jangka waktu atau kondisi tertentu. Sehingga KPK dapat dibubarkan sewaktu-waktu, atau pada kondisi dimana kasus korupsi telah lenyap dari negara ini.
Wacana Revisi Undang-undang KPK
Adanya pandangan bahwa KPK merupakan lembaga Ad-hoc membuat beberapa fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengajukan revisi terhadap Undang-Undang KPK. Diantaranya adalah usulan jangka waktu masa kerja KPK hingga 12 tahun mendatang. Lalu, pembatasan wewenang penyadapan yang selama ini menjadi senjata utama KPK dalam penelusuran kasus korupsi. Pembatasan yang dimaksud adalah kewajiban melapor ke pengadilan sebelum melakukan penyadapan. Dalam presentasi Roffiudin, adanya pelaporan ini dapat memicu bocornya penyadapan. Kemudian pembatasan terhadap nilai kasus korupsi yang boleh ditangani oleh KPK yaitu sebesar Rp 50 milyar. Melansir dari kompas.com, pihak pengaju revisi beralasan bahwa lembaga penegak hukum saat ini sudah lebih mampu mengatasi kasus korupsi jika dibandingkan kondisi 12 tahun yang lalu.
Mempertanyakan Integritas Lembaga Penegak Hukum Saat Ini
Pada tahun 2013 vonis bersalah dijatuhkan pada hakim Kartini Magdalena Marpaung atas kasus suap pengadilan kasus korupsi Ketua DPRD Grobogan M Yaeni. Kasus ini hanya salah satu contoh dari sekian banyak kasus korupsi yang melibatkan pihak kejaksaan. Belum lagi kasus-kasus yang menjerat pihak kepolisian.Contoh yang masih hangat adalah bagaimana kepolisian gagal melindungi Salim Kancil. Mengapa gagal? Karena oknum anggotanya ikut menerima uang dari aktivitas pertambangan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.Jika memang ada anggapan bahwa lembaga penegak hukum sudah lebih mampu mengatasi kasus korupsi dibandingkan kondisi 12 tahun yang lalu, maka mengapa fakta-fakta di atas berkata sebaliknya?
Pelemahan KPK
“Barangkali ini alasan mengapa banyak partai politik yang tidak suka dengan KPK dan lebih ingin lembaga Bubar atau dilemahkan”,ungkap Emerson Yuntho, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dilansir dari kompas.com. ICW juga mencatat bahwa operasi tangkap tangan (OTT) anggota DPR Fraksi Hanura berinisial DYL merupakan politisi ke-82 yang dijerat KPK sejak berdirinya di tahun 2002. Pelemahan KPK cukup beralasan jika dilihat dari kepentingan koruptor yang menjelma menjadi seorang politisi pemegang amanat rakyat, yang memiliki kekuatan untuk mengamankan kepentingannya.
Drama Jenderal dan KPK
Bagi siapapun yang cermat memperhatikan pemberitaan, upaya pelemahan KPK sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 2004. Layaknya sinetron, kasus “Cicak VS Buaya” kini telah memasuki seri kedua. Dimana pengusutan kasus korupsi oleh KPK kembali melibatkan Jenderal Bintang Kepolisian. Tidak bisa dipungkiri, drama yang mengiringi kasus korupsi merupakan dampak penyalahgunaan kekuasaan untuk keselamatan para pimpinan. Hal ini senada dengan pernyataan Buharuddin Lopa Menteri Hukum dan Perundang-undangan Indonesia ke-22 bahwa, “Ikan busuk dari kepalanya”.
Dalam sesi penutupan diskusi, Roffiudin menambahkan bahwa KPK juga merupakan lembaga yang tidak luput dari kesalahan dan perlu dikritik. Namun, bukan dengan membenarkan pelemahan bahkan pembubaran KPK melalui konstitusional.
Ditulis Oleh Abdul Aziiz Ghofur, Pemimpin Umum LPM Dimensi 2015/2016.
Tugas kita bersama….pd setiap gerakan perubahan, mhs / pemuda menjadi garda terdepan dlm setiap gerakan perubahan, sukses lpmdimensi….!