Wiji Thukul, Pendekar HAM yang Kini Tak Tahu Rimbanya
Oleh: Gilang Dwiangga Putra
Bayang-bayang kelam kekacauan peristiwa Mei 1998 masih menggelanyut di benak. Tujuh belas tahun yang lalu, ketika para aktivis menyuarakan perubahan dan pembaharuan bagi Indonesia, banyak dari mereka yang pulang tidak sampai di rumahnya. Bahkan ada juga dari mereka yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya dan menimbulkan sebuah tanda tanya besar. Salah satunya adalah penyair kondang asal Solo, Wiji Widodo atau lebih dikenal Wiji Thukul. Dimana ia sekarang? Entahlah, yang jelas hingga tulisan ini diterbitkan penyandang nama tersebut menghilang, tidak pernah ditemukan.
Wiji Thukul, lahir di Surakarta. Ia bisa merayakan umurnya yang ke- 52 tahun pada tanggal 26 Agustus besok, beberapa minggu setelah hari raya Idul Fitri tahun ini- jika memang ia masih hidup. Aktivitasnya yang sering mengkritik pemerintahan pada masa itu menjadikannya salah satu tokoh yang tidak disenangi rezim Orde Baru. Ia adalah sosok dengan kepribadian sederhana, berjiwa berani dengan prinsip yang kokoh. Selama menurut pemikirannya benar dan apa yang dilakukan untuk kebaikan, dia tidak lelah memperjuangkan.
“Dimata teman-teman sastrawan, sebenarnya puisi karya Wiji Thukul tidak terlalu bagus,” ungkap Hendry TM, sastrawan dan teman kerja Wiji Thukul semasa di Semarang (1985-1986). “Namun, keberaniannya menyampaikan (kondisi) secara apa adanya dan sebagai seorang pejuang kebebasan lah yang patut di acungkan jempol. Ia berani membacakan puisi yang menghujat pemerintah kala itu,”.
Nurut atau menurut bukan sifat asli Wiji Thukul. Sebaliknya, nentang atau menentang adalah sifat yang bermukim dalam dirinya. Terbukti, ia sering ditemukan berdemo dengan para buruh dan petani, mempertanyakan kebijakan pemerintah pada masa itu. Beberapa aksi demo-nya, seperti dilansir dari laman Wikipedia, yaitu aksi protes karyawan PT Sritex pada tahun 1995, serta aksi demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo pada tahun 1992. Selain aksi demo, ia beserta teman-temannya juga tergabung dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Sebuah sanggar seni bagi para buruh dan petani, yang idealismenya sering dipelintir oleh pemerintahan Orde Baru.
Pada kerusuhan Mei 1998, Wiji Thukul yang ikut terlibat bersama mahasiswa dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya berhasil menarik mundur Soeharto dari kursi presiden. Sekalipun pada akhirnya rezim Orde Baru jatuh, ia menyisakan sejumlah cerita hilangnya para aktivis, termasuk Wiji Thukul. Tidak ada orang yang tahu akan keberadaannya. Baru pada tahun 2000, Siti Dyah Sujirah alias Sipon, istri Wiji Thukul melaporkan kepada Komisi Nasional Untuk Orang Hilang dan Kekerasan (KONTRAS) tentang lenyapnya Wiji Thukul. “setelah lengsernya Soeharto, politik di dalam negeri masih belum stabil hingga awal 2000, tidak bisa langsung melapor,” imbuh Hendry TM.
Pemerintahan Jokowi pernah berjanji untuk melanjutkan kembali kasus hilangnya para aktivis. Namun, realitanya hingga sekarang kasus-kasus tersebut mati suri, sama-sama menghilang seperti para aktivis. Andaikan saja Munir- anggota Dewan Kontras pada masa itu masih hidup, barangkali ia akan membantu mengungkapkan dalang dari hilangnya para aktivis pada peristiwa Mei 1998 termasuk Wiji Thukul. Sayang, Munir juga mati akibat menelan senyawa arsenikum pada penerbangannya menuju Utrecht. Jika di negara ini orang-orang yang berani jujur bersuara dibunuh, siapa yang hidup? Dimana Wiji Thukul? Siapa yang menghilangkannya? Begitu kah cara hidup negara demokrasi?
Nice NEWS