Dugderan, Tradisi yang Tak Hanya Dug dan Der

Oleh:  Nefia Ayu Prasasti

Beberapa daerah memiliki tradisi yang sudah menjadi warisan leluhur untuk meyambut bulan suci Ramadhan. Salah satunya di Semarang, Ibukota Provinsi Jawa Tengah. Adalah dugderan, tradisi warisan dari jaman Belanda yang hingga kini masih rutin dilaksanakan guna menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Seperti apa Dugderan?

Pada tahun 1891 sewaktu Indonesia masih dijajah oleh Belanda,  Kanjeng Tumenggung Aryo Purbaningrat, walikota daerah Jawa Tengah semasa itu berkeinginan menyambut bulan suci Ramadhan dengan suatu kegiatan. Dugderan muncul ketika Kanjeng Tumenggung Aryo Purbaningrat berinisiatif mengadakan pertemuan dengan para Alim Ulama di Masjid Agung Semarang  (Masjid Kauman) untuk menentukan kapan disepakatinya awal Ramadhan. Kesepakatan alim ulama dalam pertemuan itu dituangkan dalam sebuah kertas yang disebut dengan Suhuf Qalaqah. Setelah kesepakatan itu ditanda tangani oleh alim ulama, lalu diberikan kepada kanjeng bupati melalui lurah kauman dan diumumkan kepada seluruh masyarakat. Serambi depan Masjid Kauman menjadi tempat diumumkannya pembacaan suhuf qalaqah, dimana pada waktu itu semua warga telah berkumpul. Setelah pembacaan suhuf qalaqah dilanjutkan dengan pemukulan bedug yang diiringi dengan suara meriam atau mercon. “Jadi dari situlah awal mula tradisi yang dinamakan Dugderan. ‘Dug’ yang diambil dari bunyi bedug yang dipukul sedangkan ‘Der’ merupakan bunyi meriam,” ucap Kasturi, penanggung jawab Dugderan 2015 menjelaskan.

Seiring berjalannya waktu, tradisi Dugderan mengalami perkembangan. Dahulu terdapat pasar malam yang diadakan di alun-alun, dimana di pasar malam tersebut banyak dijumpai mainan anak-anak yang disebut Warag Ngendok. Warag sendiri berasal dari kata wara’ah yang berarti bersih atau suci sedangkan ngendok berarti telur. Warag Ngendok diumpamakan sebagai orang yang sedang melaksanakan ibadah puasa. Orang yang menjalankan ibadah puasa akan menjaga sikapnya dari hal-hal buruk yang dapat merusak pahala puasanya. Sehingga setelah satu bulan penuh, ia terlahir kembali dengan jiwa dan hati yang baik. Seperti telur yang memberikan gizi kepada orang yang memakannya.

Pada tahun 2007 arak-arakan Dugderan berkembang hingga menuju ke tiga Masjid besar di Semarang, yaitu di Masjid Agung Semarang, Masjid Raya Baiturrahman, dan Masjid Agung Jawa Tengah.

Tahun ini Dugderan hanya dilaksanakan selama dua hari yaitu pada tanggal 15 dan 16 juni 2015. “Alim ulama dari Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sepakat bahwa Dugderan tetap dilakasanakan. Inti dari kegiatan ini yaitu pembacaan suhuf qalaqah yang akan dibacakan tanggal 16 juni di Masjid Agung Jawa Tengah,” ujar Muhazin Mu’asik Kyai di Masjid Agung Semarang.

Kegiatan pada hari pertama dipusatkan di Simpang Lima yaitu karnaval yang diikuti 9000 peserta mulai dari TK, SD dan SMP/sederajat. Sedangkan pada hari kedua berisi karnaval budaya yang dimulai dari balai kota hingga Masjid Agung Semarang. Tak hanya itu, walikota Semarang juga akan membagikan air khataman Qur’an dan Ganjel rel. Ganjel rel merupakan roti besar yang dipotong kecil-kecil untuk dibagikan kepada masyarakat.

“Sejauh ini Masjid Agung Jawa Tengah selalu ketempatan (baca: menjadi markas) untuk penabuhan bedug, tepatnya di Bedug Purworejo, bedug yang paling besar itu,” pungkas Suwarno selaku Kasi Keamanan Masjid Agung Jawa Tengah.  Kasturi yang juga Ketua Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Semarang menambahkan, Dugderan tahun ini sedikit berbeda dari tahun sebelumnya karena pasar malam ditiadakan. Mengingat area yang biasanya digunakan untuk pasar malam beralih fungsi menjadi tempat berjualan sementara. Hal ini terkait kebakaran yang melanda Pasar Johar baru-baru ini sekaligus juga untuk menghormati mereka pasca terkena musibah kebakaran.

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *