Tasbih Untuk Ayah Siti

Jika ada yang berdoa di antara sore menjelang malam, pastilah Siti orangnya. Di waktu pada saat senja turun mengguyur langit dan jalanan, ia komat-kamit, melafalkan beberapa baris kalimat Arab yang tertera di sebuah kitab. Aku tau ia termasuk golongan gadis salehah, terlihat dari kitab yang dipegangnya kumal sekali. Lembar per lembarnya bergoyang miris ketika disentuh, rapuh barangkali seperti pemiliknya. Ia teman satu kamarku, kami menyewa sebuah kamar di pinggiran kota Semarang. Kami sepakat berbagi ruang petak yang agaknya mulai sempit dihuni oleh dua gadis perawan perantauan beserta seluruh barang yang jumlahnya semakin bertambah banyak.

Kepala Siti terus bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti irama suaranya. Cahaya senja yang mencuri masuk lewat lubang jendela tak berhasil menyilaukan matanya. Belum ada yang sanggup menyilaukan matanya, termasuk gemerlap kota sekalipun. Ia terus berdengung, menaik turunkan suaranya,kadang-kadang memberi jeda, kadang juga batuk-batuk kecil. Seperti seorang perwira yang sedang mengelap senjatanya, ia khusuk menatap lurus ke arah doa-doa itu.

***

Parkiran tampak lengang. Hanya ada lima motor yang mendengkur di latar itu, sisanya sebuah mobil mulai bangun, menderu hendak menghilang. Aku yang sejak lima menit tadi duduk di depan pintu, hendak mengikuti jejak mobil, membangunkan motor lalu pergi. Lagipula kaleng yang ku pegang sudah kosong, tak menyisakan cairan haram. Tubuhku kini tak lagi suci untuk empat puluh hari ke depan. Tapi aku tak peduli. Senja mulai terbit, mengingatkanku pada sebuah janji. Diskusi kali ini tak akan bisa aku lewatkan. Di atas motor, diantara senja dan puluhan motor lainnya, pikirku melayang 400 kilometer jauhnya, teringat Mamak.

Mamak sedang mengupas terong di belakang. Sambil menontoni seekor ayam jago mengepak sayap, aku menemaninya berkeluh kesah.

“Mamak dah cukup syukur makan terong. Ndak kepingin yang lain-lain. Pak kades bilang kalau pabrik itu jadi dibangun, tiap hari kita bisa makan gizi seimbang biar sehat.”

“Pak kades matur begitu mak? Lha mamak karo sing liyane jawab piye?”, bahasa jawaku kocar-kacir. Pada Mamak-orang yang lebih tua dariku-harusnya aku pakai jawa krama. Tapi peduli apa, bagiku kami saling menangkap percakapan satu sama lain itu sudah cukup. Bukankah hakikat sebuah komunikasi adalah menangkap pesan yang disampaikan? Paling tidak begitu kata dosenku ketika mata kuliah yang diampunya-komunikasi bisnis-mulai membosankan.

“Kamu kayak ndak tau mamakmu. Aku tetep emoh. Buktine mamak tetep sehat. Isih iso mlaku ning warunge Mak de saben esuk, tuku tempe kanggo kowe sarapan”, mamak mengakhirinya dengan gelak tawa. Pagi itu berakhir dengan sepiring sambal terong masuk ke mulut kami. Nasi yang mengepul dan sebaris tempe goreng mendiamkan percakapan, tapi tidak dengan pikiran kami. Sebersit kecemasan bisa ku tangkap lewat mata sepuhnya. Mamak sedang gelisah.

***

            Senja di kamis terakhir tahun ini dan Siti masih saja bergerak ke kanan dan ke kiri, mengikuti lantunan nada Arab yang keluar dari bibir tebalnya. Aku hendak mengganti baju sebelum beranjak ke diskusi sore ini, lima belas menit lagi. Siti menoleh. Melihatku setengah terbuka.

“Kau akan berangkat?”

“Tentu saja. Apa tak kau lihat aku sedang mengganti bajuku”, aku menjawabnya setengah malas. Siti selalu begitu, bertanya tentang hal yang sudah jelas ia ketahui. Jenis manusia yang gemar melontarkan pertanyaan retorika. Tentang Siti ini, aku pernah begitu akrab dengannya dulu. Ia seorang aktivis kampus. Kami sering berdiskusi lama sekali hanya untuk membicarakan berapa kalori yang kami makan hari ini, hubungan sepatu dengan pemakainya, hingga siapa dalang peristiwa 65.

Ia lalu menyodorkan tasbihnya kepadaku.

Aku yang memang sudah tak akrab lagi dengannya seperti dulu hanya diam, tapi juga tak menolak. Ku masukkan tasbih itu ke dalam saku celana. Lima menit berlalu menyisakan sepuluh menit untuk menempuh perjalanan menuju gedung di seberang. Sebelum pergi aku sempat melihat koran yang tergeletak disamping sajadah Siti. Koran tahun kemarin. Betapa ia tak rapuh, koran lapuk saja masih disimpan. Tipe orang pengingat masa lalu. Barangkali orang-orang rapuh adalah mereka yang tak mau jauh dari masa lalu.

Aku melenggang pergi meninggalkan kamar sempit disertai tatapan perpisahan seorang gadis rapuh. Sinar senja mulai turun, membuat semua yang diterpanya berwarna merah kekuning-kuningan. Semuanya, tak terkecuali mataku. Mataku merah, jantungku berdegup gencang. Ku hirup dalam-dalam aroma keberanian yang meletup-letup. Betapa banyak orang jatuh cinta pada senja. Banyak tapi tidak termasuk aku.

Diskusi kali ini pasti seru. Aku sudah menantikannya begitu lama. Ku pelankan motorku, dari dalam jok motor aku ambil beberapa peralatan diskusi. Sayup-sayup ku dengar suara-suara keberanian. Aku melangkah pelan sembari menyiapkan argumen terbaik.

“Dorrr… Dorrr…”

Gagal, ini tidak adil. Aku belum sempat mengeluarkan argumen terbaikku dan ia telah menyerangku. Kami berhamburan seperti anai-anai yang diceritakan di hari kiamat. Ku lihat mamak membawakan serantang makanan. Tawa renyahnya menggelegar diantara batu-batu yang berserakan serta senapan-senapan laras panjang yang terus berbunyi. Inilah diskusi yang aku nanti-nantikan. Diskusi kematian.

Aku tak melihat satu pun diantara kerumunan di seberang yang mengenakan dasi atau bersepatu mengkilap atau yang sejenis dengan mereka. Segalanya berwarna cokelat, sama seperti ayah Siti. Kau tahu Ayah Siti? Ia seorang perwira. Sepatunya mengkilap, badannya tegap, jika berjalan prok-prok-prok. Ibuku wanita yang pandai berdiskusi. Ia tak punya senjata seperti ayah Siti. Yang ibuku tau hanya kampungku tak mau dijadikan sarang semen. Ibuku dan ibu-ibu lainnya ndak kepingin beli smartphone, tablet, atau seperangkat alat modern lainnya. Ibuku cerdas, argumennya sangat menarik, sangat kuat dan karena itu ayah Siti membunuh ibuku atas perintah orang-orang berdasi. Aku mengetahuinya dari koran di sebelah sajadah Siti, terbitan hari Kamis sebelas bulan yang lalu.

Alat diskusi yang aku pegang berkilat-kilat memantulkan seringai ayah Siti, ia seperti hendak menantangku diskusi. Aku jelas mewarisi darah Ibu, pandai berargumen. Senja mulai memudar, waktuku tinggal sebentar. Sekali lagi aku mendengar tawa ibu yang renyah, percakapan di dapur reyot kami, dan rahangnya yang selalu bergetar. Setelah ini aku akan menyelesaikan diskusi Ibu dengan ayah Siti. Akan aku ulangi kemenangan itu lagi.

Siti, temanku, aku tau kau rapuh karena menanggung dosa ayahmu di kala senja setahun yang lalu. Aku tau kau melulu berdoa pada setiap senja hanya untuk menghapus dosanya. Tubuhku sudah tak lagi suci selama empat puluh hari ke depan maka jika aku mati hari ini aku pasti bertemu ayahmu. Di neraka.

Akan aku selesaikan diskusi tentang pabrik semen yang tak kunjung reda ini, Siti. Setelah ayahmu mengakui kekalahannya maka akan aku ikhlaskan ia masuk ke surga. Ku lihat ayah Siti berjaga paling depan. Pisauku berkilat-kilat, dalam sekejap aku berlari tunggang langgang menancapkan pisau ke jantung ayah Siti. Beberapa pistol gemelatuk, telingaku sakit mendengar letupannya. Sempat ku rasakan tubuhku nyeri. Pelan tubuhku terasa ringan. Satu kali hujaman dan hap darah muncrat ke seluruh wajahku, terasa hangat. Sehangat pelukan ibu di antara senja menuju maghrib.

“Puluhan Mahasiswa Tolak Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng Rembang. Aksi demo yang berlangsung ricuh mengakibatkan dua korban meninggal. Satu orang mahasiswa tertembak dan seorang perwira mati tertusuk…”, sayup-sayup suara TV bergantian dengan isak tangis Siti.

Jika kau bertemu dengan Siti tolong sampaikan tasbihnya masih ku genggam. Akan aku berikan pada ayahnya sebentar lagi, setelah aku menemukannya di neraka.

 

Cerpen oleh Ruhaeni Intan.

 

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *