Konsolidasi Akbar Tolak Omnibus Law Menuju Aksi 11 Maret Mendatang

Suasana konsolidasi akbar tolak Omnibus Law (6/03).
Dok. Alfandy

Suatu negara tak akan pernah berhenti untuk terus memperbarui hukum dan aturan demi menyesuaikan keadaan. Meskipun aturan tersebut tak selamanya dapat dengan mudah diterima rakyatnya. Begitu pula dengan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) atau yang disebut dengan Omnibus Law. RUU ini telah diserahkan kepada DPR sejak 12 Februari lalu. Sejak tanggal penyerahan itu, kritik dan protes ramai dilontarkan dari banyak pihak. Kelompok serikat pekerja utamanya buruh yang paling keras menyuarakan penolakannya di berbagai media.

Banyak hal yang dibahas di dalam RUU Cilaka ini diantaranya meliputi tenaga kerja, pertanian, perikanan, kelautan, pendidikan, peternakan, pertambangan, minyak dan gas bumi, lingkungan, kehutanan, ketenagalistrikan hingga pers. Namun, hal yang paling disoroti yakni terkait nasib buruh dan pekerja.

Pada Jumat (6/03) lalu, bertempat di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang tepatnya pukul 19.00 WIB, muncul adanya Seruan Konsolidasi Akbar yang dimoderatori oleh Cornelius Gea dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Konsolidasi ini merupakan hasil dari diskusi Omnibus Law pada Kamis (27/02) lalu yang mengundang seluruh elemen mahasiswa, akademisi, pelaku usaha, buruh, aktivis, hingga pemerintah. Diskusi tersebut mengangkat tema ‘RUU Cipta Kerja : Cipta Sejahtera Atau Cipta Sengsara’ ini, bertempat di Ruang Seminar, Gedung Laboratorium Litigasi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. “Ini kesepakatan dari diskusi yang dilakukan di FH undip, ada serikat buruh dan beberapa komunitas yang ikut. Di akhir pertemuan, kita sadari bahwa gerakan yang kita lakukan masih terfragmentasi padahal musuh pengusung Omnibus Law sudah solid. Tanpa adanya konsolidasi yang kuat dari setiap gerakan masyarakat maka tidak akan punya kekuatan yang cukup untuk melawan,” ujar Cornel.

Dalam konsolidasi akbar kali ini turut dihadiri anggota dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia cabang Jawa Tengah (KASBI Jateng). Salah satu anggota KASBI yang hadir, Mulyono menuturkan bahwa adanya konsolidasi ini bertujuan untuk menyatukan pikiran dan pandangan mengenai penolakan Omnibus Law.

Poin yang menjadi polemik Omnibus Law salah satunya yaitu Upah Minimum Kabupaten/Kota yang akan terancam hilang. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak aturan baru tentang skema pengupahan dalam RUU Cipta Kerja.  Dalam pasal 88C draft RUU tersebut berbunyi: Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Pada ayat (2) dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum sebagaimana disebut di atas merupakan Upah Minimum Provinsi (UMP). Mulyono menerangkan adanya keprihatinan buruh saat ini, yang mana UMP Jawa Tengah malah menjadi tolak ukur upah murah sehingga akan banyak relokasi perusahaan di Jawa Tengah karena rendahnya upah yang diberikan. “Di sinilah sentral permasalahan pokok buruh itu,” ungkap Mulyono.

Dari laman finansial.bisnis.com artikel bertajuk ‘Ini Daftar UMP tahun 2020 di 34 Provinsi’ disebutkan bahwa UMP Jawa Tengah besarnya dari Rp 1.605.396 menjadi sekitar Rp 1.742.015 pada 2020. Meskipun Kementerian Ketenagakerjaan memutuskan adanya kenaikan upah, tetapi tidak sebanding dengan besar upah di daerah lain serta lebih kecil dari besar Upah Minumum Kabupaten/Kota sekitar Rp 2.715.000.

RUU Cilaka diyakini dapat mengancam masyarakat. Tidak hanya buruh tetapi juga mahasiswa, petani, nelayan, bahkan hingga kelompok perempuan. Cornelius Gea juga mengatakan bahwa adanya kepentingan investasi adalah tujuan kuat yang diinginkan pemerintah saat ini. Beberapa kemungkinan untuk disahkannya Omnibus Law sangat besar sehingga bisa saja tidak ada yang mencegahnya. Maka dari itu, gerakan masyarakat menolak Omnibus Law perlu diesksekusikan untuk saat ini. “Gerakan masyarakat menolak Omnibus Law menjadi sangat urgent karena hanya itu solusi yang bisa mencegah disahkannya Omnibus Law.” Pungkas Cornel. Tak hanya di Semarang, berbagai wilayah pun telah banyak melakukan aksi guna menolak RUU Sapu Jagat ini. “Dengan adanya aksi, maka akan lebih besar penolakan ini, di mana di Jawa Tengah cukup tertinggal dengan daerah lain yang sudah mendahului seperti Jakarta dan Banten,” tambah Mulyono.

Hasil konsolidasi mengandung beberapa kesepakatan dan mengerucut pada beberapa opsi tuntutan, diantaranya :

  1. Nama gerakan Aksi Penolakan RUU Cilaka yakni Gerakan RAJAM (Rakyat Jawa Tengah Melawan) yang tercetus setelah diskusi di Fakultas Hukum (27/02);
  2. Aksi dilakukan dua kali pada 11 Maret 2020 yang bertepatan dengan Peristiwa Supersemar dan pada 23 Maret 2020 yang dilaksanakan serentak se-Indonesia yang bertepatan dengan masa reses DPR;
  3. Tidak boleh ada bendera yang dikibarkan selain bendera tolak Omnibus Law, semua peserta aksi melebur jadi satu;
  4. Tuntutan satu suara: menolak RUU Omnibus Law ;
  5. Aksi dihadiri oleh puluhan lembaga dan elemen masyarakat, kurang lebih massa aksi sekitar 2.400 orang, terdiri atas ratusan mahasiswa dari beberapa Perguruan Tinggi dan ribuan Aliansi buruh seperti Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI), Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPSI), dan Serikat Pekerja Indonesia (SPI);
  6. Aksi Long March. Titik kumpul berada di Universitan Islam Negeri (UIN) Walisongo menuju lampu merah Jalan Tol Krapyak hingga Kantor DPRD Jateng;
  7. Dimulai pukul 08.00 WIB sampai menang;
  8. Ada konsolidasi lanjutan pada 9 Maret 2020 di tempat yang dirahasiakan untuk membahas teknis lapangan lebih lanjut.

Cornel menambahkan jika Ia tidak ingin menunggu apabila krisis benar-benar akan terjadi (telah disahkannya RUU Cilaka ini). Omnibus Law memang merupakan pintu masuk krisis yang lebih besar nantinya. “Seharusnya kita tidak menunggu krisis itu terjadi, tetapi mencegah krisis tersebut agar tidak sampai diaktualisasi. Jadi kita akan terus melawan,” pungkasnya.

Wahyu Nurul Aini, Alfandy

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai