Cerita Tentang Dewi

Oleh:  Ruhaeni Intan

Dewi menghirup kopi panas di tangannya, sekali lagi ia menghirupnya sebelum habis kopi itu ditenggaknya. Beginilah caranya menikmati hidup, menghirup kopi, menghirup udara pagi, sesederhana itu ia menggambarkan rasa syukur atas segala pelajaran yang di dapatnya semenjak belajar menjadi dewasa.

“Hai, matahari. Kau tampak malu hari ini. Bunga-bungaku butuh panasmu, ayolah.” Ia tampak menggerutu melihat matahari yang tertutup kabut sejak pagi tadi.

Ia kemudian berdiri, meregangkan otot-ototnya yang beristirahat sejak enam jam lalu.

“Baiklah, akan ku hadapi hari ini. Apapun yang terjadi.”

Begitu katanya pada sekuntum bunga melati yang mekar di pekarangan rumahnya. Ia memang sangat mencintai bunga-bunga, tak perlu repot membersihkan kotoran, begitu pikirnya ketika ditanya tentang mengapa ia lebih memilih bunga daripada seekor kucing atau ikan mas.

Sebelum pergi mandi, ia sempat mengecek hp, beberapa ucapan selamat tertera di layarnya.

Tentang Dewi ini, aku tak tau banyak apa yang sedang bergejolak di dalam hati atau pikirannya. Aku hanya menceritakan Dewi lewat kisah yang aku dengar dan juga perilakunya sehari-hari yang sering aku lihat. Aku hanya ingin berbagi sebuah kisah tentangnya, tentang kehilangan yang pernah hampir membunuhnya, dan juga tentang penantian yang berhasil membuatnya hidup kembali.

Malam itu, ia pergi tidur seperti biasa, setelah khasiat kafein dari kopi yang ditenggaknya bersama teman-teman seperantauannya habis. Asal kau tahu, Dewi tak terlalu suka dengan kopi. Ia lebih suka air putih, setiap hari setelah menenggak kopi ia pasti minum beberapa botol air mineral. Ia hanya jatuh cinta sementara, dengan khasiat kopi yang bisa memperpanjang kondisi sadarnya sehingga dengan begitu ia bisa leluasa mengomentari apapun di dunia ini. Entah bersama teman-temannya atau sendirian di kamar, bersama dengan buku tulis atau laptopnya.

Hampir sepekan ini, ia sering dihantui perasaan ketakutan. Entah asalnya darimana. Dewi pikir, itu karna jadwal sidang skripsinya yang tinggal menghitung minggu. Berkali-kali ia menolak rasa takut itu, namun tetap saja pada malam atau pada waktu-waktu di saat ia sendiri, hantu itu datang mengusik aktivitasnya. Pernah bahkan, aku mendengar ia menjerit seperti habis menyaksikan pembantaian Hitler terhadap orang-orang yang tak disukainya.

Malam itu ketika ia tidur dengan posisi tengkurap, dengan celana jeans dan kaos yang masih menempel di tubuhnya, hp-nya berbunyi, terus menerus tanpa berhenti. Aku sempat mendengar deringnya namun ku pikir, itu hanya dering alarm, bukan dering bunyi telepon jadi ku biarkan saja.

Setelah kejadian dini hari itu, aku tak pernah melihatnya lagi di kampus. Pun juga di kosan. Menurut kabar yang beredar, rupanya telepon itu berasal dari pamannya, satu-satunya keluarga Dewi yang tersisa. Aku juga melihatnya sendiri di TV. Sebuah pesawat dengan rute Malaysia menuju Denpasar menghilang di perbatasan Brunei Darussalam. Kabarnya pesawat itu dibajak oleh sekawanan teroris yang pro-genosida. Sebuah organisasi bawah tanah yang pelan-pelan hendak melenyapkan suku Melayu beragama Islam. Di dalam pesawat itu, ada keluarga Dewi. Seluruhnya, Bapak, Ibu, dan kedua kakak laki-lakinya. Mereka baru saja pulang dari tanah suci melaksanakan ibadah umroh. Dewi absen kali itu, karna ia memilih tenggelam dalam kesibukan mempersiapkan titel sarjana psikologi.

Sejak saat itu, simpang siur kabar yang aku dapat. Ada yang mengatakan, Dewi kini tinggal bersama pamannya di kampungnya di Bali. Ia menjual segala barang yang ada di rumahnya untuk bolak-balik Bali-Brunei demi mendapatkan informasi tentang kepastian nasib keluarganya. Tentang pamannya? Entahlah, terakhir kali Dewi cerita padaku pamannya itu bukan seseorang yang dititipi harta yang berlebih oleh Sang Pencipta. Ia hanya seorang pelukis yang mengikuti idealismenya , hidup sendirian tanpa istri ataupun anak. Menggantungkan hidup pada hasil karyanya. Kau pasti mengerti arah pembicaraanku bukan? Tak mungkin Dewi meminta bantuan pada pamannya yang sebatang kara itu, secara finansial maksudku. Lalu, seseorang yang lain berkata padaku ia melihat Dewi kini menjadi titisan Marilyn Monroe. Dengan tubuhnya yang meliuk indah bak patung dewi Yunani, parasnya yang ayu, dan kulit eksotisnya ia menjelma menjadi ratu berbayar di tiap-tiap lorong di sudut kafedi Bali. Demi sesuap makanan, benarkah Dewi yang ku kenal cerdas itu mau merelakan kesuciannya dibayar? Aku tak tahu.

Enam bulan sudah sejak Dewi menghilang dari hiruk-pikuk ibukota Jawa Tengah. Seperti biasa, menjelang makan malam, ku nyalakan TV kosan yang berada tepat di sebelah kamarku, di ruang tengah. Aku hendak menonton debat pilpres yang sedang panas dibicarakan. Awalnya aku antusias, namun lama-kelamaan bosan juga aku melihat empat orang beradu pendapat dengan sekali-sekali dipisahkan oleh moderator. Aku tak pernah suka politik. Itu membuatku sakit perut. Dewi yang suka. Hingga kemudian, sebuah berita berjalan di bawah layar membuat mataku membelalak. Itu Dewi, aku yakin itu Dewi.

***

“Dimas, aku berhasil. Sekarang namaku Dewi Kinasti, S.Psi.. Kau boleh menuliskan itu di undangan pernikahan kita nanti.” Telepon dari seberang sana melenyapkan mimpiku tentang Pulau Buru, tempat pengasingan Pram. Aku bermimpi diasingkan disana bersama Dewi, calon istriku. Tapi bahkan aku tak merasakan kepedihan. Sungguh, apalagi yang lebih romantis selain menghabiskan sisa umur dengan orang yang paling kau rindukan? Tak peduli disana, kau kekurangan makanan, hidup sederhana, mencari penghidupan berbekal jala untuk menangkap ikan.

Ini kisah memang tentang Dewi, orang yang diam-diam aku cintai. Sejak mataku terbelalak karena berita berjalan di salah satu stasiun yang menayangkan acara debat capres, ku bulatkan tekadku untuk menyebrangi lautan demi sampai ke pulau tempat Dewi ditemukan sekarat. Di sana, di sebuah puskesmas kecil di pedalaman Bali aku menemukan Dewi. Ya, benar-benar Dewi. Seperti Dewi yang dikisahkan dalam mitos Yunani. Dewi yang cantik dan perangainya yang baik. Namun jangan lupa, bahkan di Yunani pun Dewi-dewi itu pernah sekarat, ketika kekuatannya diambil oleh raksasa-raksasa jahat, dan kebebasannya direbut untuk kemudian dipasung dalam penjara. Dewi-ku, ia juga begitu.

Dewi sekarat karena penyakit yang didapatnya dari menjual desah. Ia terkena HIV/AIDS. Apa yang kau simpulkan? Ia bukan Dewi begitu? Kau salah.

Jelas ia seorang Dewi.

Kabar itu benar, seluruhnya benar. Ia memang menjual kesuciannya demi sesuap nasi. Ia juga menjual hampir semua barang-barang di rumahnya, demi mencari tahu kabar keluarganya. Tapi, ada beberapa kabar yang tak sempat lewat di telingaku, selain jual-jualan.

“Kak Dewi, mengapa Hitler membunuh banyak orang?” tanya gadis dengan warna rambut kecoklatan.

“Itu karena ia menganggap bangsa lain lebih rendah dari bangsanya. Ia ingin sukunya yang berkuasa. Ras Arya. Bangsa yang gagah, kulitnya putih, dengan otak yang encer. Seperti itu lah kesombongan membuat matanya buta. Mengira di atas gunung tak lagi ada gunung. Kau tak boleh begitu. Semua orang memiliki kesempatan yang sama. Orang-orang di London sana sama haknya dengan orang-orang timur disini. Juga sebaliknya.” Ku lihat mata Dewi berkobar-kobar tatkala menjawab pertanyaan itu. Aku mengamatinya dari luar jendela. Di rumah besar itu, satu-satunya harta yang tersisa dari peninggalan keluarganya, Dewi menampung beberapa puluh remaja. Ia menamai kelompoknya itu sebagai anggota Matahari. Hampir seluruh anggotanya miskin, tak punya dana untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

Kisah tentang Dewi, aktivis pengidap HIV/AIDS yang berjuang untuk pendidikan bagi segelintir remaja di pedalaman Bali adalah kabar yang tak sempat ditangkap telingaku. Ia memang pernah hampir mati karena penyakitnya yang tak bisa diobati. Ia pernah hampir menyerah karena keluarganya yang sampai sekarang hilang tak diketahui keberadaanya.

Aku hanya laki-laki biasa yang jatuh cinta padanya sejak awal aku terlibat diskusi panjang dengannya malam itu, di teras kosan. Ia menawariku secangkir kopi dan sejak saat itu aku tak bisa berhenti melupakan kopi buatannya.

Sudah lima tahun sejak Dewi pernah menyerah untuk lebih memilih mati. Aku tak tau, apa yang harus aku lakukan saat itu. Berbekal cinta dan rindu yang membara, aku mulai berusaha mengembalikan harapan yang sempat lari dari Dewi.

Barangkali begitulah cerita tentang Dewi, yang parasnya cantik dan perangainya baik. Barangkali hanya itu yang bisa menghidupkan lagi orang-orang yang hampir mati. Menawarinya harapan.

Ku lihat tubuhnya lebih kurus sekarang, tapi tidak dengan jiwanya. Tidak lagi.

Hari ini hari pernikahanku dengan Dewi.

***

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *