Kelana dan Peringkat
oleh Fadhilah Azzahra
Duduk dalam dekapan, pluralis itu mendekam diam. Meski kanan kirinya bersahut-sahutan cemooh biadab dan kebun binatang, ia asyik melarut-larutkan diri dalam pikiran. Jika dihitung, sudah lebih dari sepuluh kali ia begini. Bukan meringkuk yang menunduk seperti sahaya. Bukan pula diam seperti gundukan jerami di kandang kuda. Hanya duduk yang memeluk lutut. Mendekap pikiran. Namun, masih saja dilakukan hingga seratus kali pun kanan kirinya masih berisik tak bisa diam meski kini ia tengah berada di pelataran jalan di dekat persimpangan kota.
Memecah kebisingan yang berseragam, sebuah motor memberi klakson keras. Entah kepada siapa, kejadiannya begitu cepat. Mungkin saja ditujukan pada siswa SMA yang tak pakai helm, atau mahasiswa beralmet yang terburu-buru menuju kampus, atau juga pedagang asongan yang menerobos zebracross. Namun, yang lebih mungkin lagi adalah lelaki baya itu. Sudah seminggu mengganggu pengendara lainnya di tiap sore. Tak pernah ditangkap karena belum ada yang lapor, sepertinya. Pemandangan kesibukan itu tak lantas menakuti sang pluralis untuk cepat pergi. Tidak, tapi kali ini ia memang beranjak pergi lantaran ada “sesuatu”.
“Gar!” seseorang berteriak. Sang pluralis terhenti sejenak dari langkahnya, menengok ke samping kiri. Oh, ada teman yang hutangnya belum lunas dari kemarin. Apakah ia datang untuk membayar?
“Sudah, kalau masih belum bisa bayarnya besok-besok saja,” timpal si pluralis sok dermawan itu. Padahal batinnya menginginkan sejumlah sepuluh kali harga minyak Sania itu sore ini juga.
Temannya itu hanya menepuk pundaknya sembari melepas arloji yang dikenakan. “Ini ya, jaminannya,” ujarnya. Si pluralis mau tak mau mengiyakan, menerima saja. “Cairnya malam nanti,” tambah temannya itu memberi tahu. Kini mereka berdua hanya mengangguk-angguk khidmat, memahami maksud satu sama lain.
Sebenarnya, teman sang pluralis itu cukup tampan. Hidungnya tinggi, mirip Takeshi Kaneshiro, aktor Taiwan itu. Namanya Lesmana dan sering terlambat membayar pajak. Tiga bulan yang lalu resmi berhutang pada sang pluralis, untuk kepentingan hubungan kerja, tak tahu apa. Pajaknya? Katanya, trauma dengan samsat. Mana ada?
“Besok biar Nius ke samsat,” tiba-tiba Lesmana menyeletuk seakan tahu apa yang dipikirkan temannya itu. “Pegawai samsat sekarang banyak yang wanita, Les,” cemooh sang pluralis. “Nius masih SMP, mana bisa?” lanjutnya. “Bisa, Gar. Wanita sekarang suka yang lebih muda,” timpal Lesmana. Mereka berdua terbahak.
Selepas itu, Lesmana bercerita panjang tentang kesibukannya akhir-akhir ini. Sang pluralis hanya setia mendengarkan, lalu merespon sekenanya. Lamat-lamat berkawan dengan sang pluralis–sebenarnya ia punya nama–yang hidupnya terlalu damai sedikit membuat Lesmana iri. Nyatanya, kehidupan diam dan damai yang diciptakan oleh si pluralis itu awet sejak sekolah dasar.
Ah, Lesmana jadi mengingat masa lampau pertemanan mereka. “Kalau yang kuingat, dulu Nius sering mengolok namamu,” Lesmana membuka obrolan masa lampau itu. Si pluralis berkedik, “Tidakkah terlalu patah untuk kau belokkan obrolan ini, Les?” ujarnya kesal. Siapa yang tak kesal? Mereka baru saja mengobrol tentang harga bensin yang dikeluhkan oleh Lesmana. Namun, ya, Lesmana memang suka membuka obrolan yang bahkan percakapan sebelumnya urung usai. Meskipun ada benarnya ‘kan? Mana bisa percakapan usai sendiri tanpa diusahakan?
“Kenapa namamu Gahar?” lanjut Lesmana tak mengindahkan.
“Gaharu,”
“Yaa, itu ‘kan nama akte. Orang tuamu yang hilang itu bilangnya Gahar,”
Sang pluralis–Gahar–terdiam. Orang tuanya memang hilang semenjak dia SD kelas lima. Entah apakah Gahar punya saudara atau sepupu, mereka berdua–Gahar dan Lesmana–bertemu di panti pinggiran kota. “Kau percaya omongan orang yang tiba-tiba menghilang, Les?” tanya Gahar sambil tertawa. Lesmana diam sebentar, lalu tertawa. Kini mereka berdua terbahak lagi, pada hal yang tidak tepat.
—
Waktu itu masih pukul tiga pagi di pulau yang belum pernah Lesmana tinggalkan. Ia bangun paling pagi di panti asuhan yang ia tinggali bersama adik kandungnya, Nius. Umurnya kala itu masih sebelas tahun, sedangkan Nius dua tahun. Rutinitas Lesmana tiap bangun tidur adalah pergi ke kamar adiknya, memeriksa apakah tidurnya nyenyak atau tak lelap.
Namun, ketika hendak keluar dari kamarnya, samar-samar ia melihat pasangan rupawan yang basah kuyup menunggu di teras panti. Di luar sedang hujan, untungnya ada ibu panti yang menyambut mereka. Lesmana agak berdegup, ia kira itu orang tuanya. Pikirannya masih belum menerima fakta bahwa orang tuanya telah tewas dalam kebakaran. Namun, sesaat kemudian muncul dari belakang pasangan rupawan tersebut, bocah laki-laki seusianya. Jadi pasangan itu benar-benar bukan orang tuanya?
Lesmana menyipitkan matanya lagi, mencoba melihat lebih jelas wajah-wajah asing itu. Meski pasangan itu rupawan, bocah laki-laki itu tampak tak mirip dengan mereka–jika itu anaknya. Lesmana hanya menggeleng-geleng, kini ia memutuskan untuk mengagetkan ibu panti dan tamunya.
“Oi, anak kampang,” Lesmana menyeletuk dari dalam panti.
Ibu panti kaget, mendelik marah. Beruntunglah ia, tamu-tamunya berasal dari pulau sebelah. “Mulot tak benabi! Masuk, Lesmana!” hardik ibu panti.
“Jangan galak-galak, Bu. Nanti jadi temannya Gahar juga,” bela laki-laki dewasa yang Lesmana kira adalah ayahnya itu.
Meskipun sebentar, Lesmana mengerti. Tak seperti ia dan Nius, bocah laki-laki ini hendak ditinggal orang tuanya dengan sengaja. Mungkin itu sebabnya selama ini ia memperlakukan Gahar agak berbeda dari anak-anak lain yang berada di panti.
Sampai pernah suatu ketika, Gahar sedang aneh-anehnya. Untuk mengatasinya, Lesmana selalu menangkas perilaku aneh Gahar dengan berbuat lebih aneh lagi. Sama seperti saat ini. Entah kenapa setelah beranjak dewasa, Gahar mulai terlihat mirip dengan orang tuanya. Bukan perkara fitur wajah, tapi persoalan aura. Aura pluralis. Seperti orang-orang pluralis yang sedang dikejar “sesuatu”.
“Jika barangkali, Les. Barangkali semenit kau jadi aku, atau jika semenit dalam hidupmu disumbangkan padaku,”
“Kenapa?” Lesmana bertanya gusar, meski ia tak ingin tahu lebih.
Gahar urung menjawab. Ia justru mengedik acuh. “Coba nilai aku dalam persentil, Les,” tantangnya. Lesmana semakin gusar, ia masih tak ingin tahu.
“Persentil ke-44, Gar,” jawab Lesmana pada akhirnya. “Tidak kau sebutkan parameternya,” tambahnya sembari lamat-lamat menatap Gahar. Ngeri.
Gahar tersenyum congkak. “44 angka yang besar Les, murah sekali pengamatanmu,” ujarnya demikian. “Ibu dan ayahku bilang aku berada di persentil ke-1 bersama mereka berdua di atasku,” tuturnya lagi.
“Mereka tak sebutkan parameternya,” ucap Lesmana menenangkan.
Namun, mata Gahar terlihat marah. “Aku ini di persentil ke-100!” Gahar memandang Lesmana dingin. “Memangnya kau siapa?” sebut Gahar.
Lesmana menelan ludah. Apakah Gahar kambuh lagi?
“Ingat ini bersama kembalinya kau dengan Nius ke tempat kumuh itu semula. Di tiap tanggal 17 bulan 8, aku akan pulang membawa pecahan nilai persentil yang kosong maknanya itu ke hadapanmu!” telunjuk Gahar mengacung tepat di depan mata Lesmana.
“Aku ini di persentil ke-100!” ulangnya sekali lagi, bersama gerak tubuh menjauh dari pandangan Lesmana. Jauh, dan hingga jauh.
—
Sekarang sudah tanggal tujuh belas. Lesmana sedikit menanti cemas kepulangan Gahar sang pluralis. Nius sudah berkali-kali menyurati ibu indekos Gahar, menanyai kabarnya. Tapi tanggal tujuh belas berlalu begitu cepat. Saking cepatnya, tanggal tujuh belas bulan delapan ini sudah memasuki satu dasawarsa. Saking cepatnya, lingkungan mereka tinggal sudah dipindah ke daerah lain di dekat bibir pantai. Saking cepatnya, bangunan milik negara ditanam di tanah mereka. Saking nahasnya mereka menunggu Gahar, hari kemerdekan menjadi jawaban akan kabar Gahar yang tak kunjung pulang.
Sore itu, Nius menonton televisi tabung tak layak pakai sembunyi–sembunyi dari Lesmana. Kemudian ditontonnya upacara penurunan bendera negara. Sedetik kemudian ia tercekat. Wajahnya kaku, wajahnya pucat. Nius melotot, tertawa gila. Dalam layar, berdiri gagah seorang Gahar dalam balutan jas hitam cemerlang dan deta–penutup kepala asli Minang. Di samping nya nampak orang paling wahid dalam hal mengubah-ubah konstitusi. Gahar yang dulu kurus kerontang, kini menjadi subur meskipun usang. “Abaaanggg!” Nius menjerit ketakutan.
tangkap mulyono
Mesin memang tidak bisa diatur, namun memiliki aturan tersendiri. PPM masih berjalan lancar tapi berjalan dibalik layar
Mesin memang tidak bisa diatur, namun tetap memiliki aturan tersendiri. PPM tetap berjalan namun dibalik layar
baguss lillll 👌
Font artikel lpm tipis banget, warnanya juga tidak hitam