Soda dan Boba

Ilustrator: Ranira

Cuaca di kala siang itu nampak begitu cerah, berbanding terbalik dengan suasana hati seorang gadis bersurai hitam sebahu yang kian mendung. Kedua matanya terlihat sembab hingga kaki yang berbalut celana bahan itu juga masih setia menggantung dari tepi rooftop yang tampak sepi. Ia adalah Nara, seorang gadis cantik dengan tatapan sendunya.

Tangan kecilnya masih sibuk menuliskan huruf demi huruf di secarik lembar buku harian nan usang. Namun, tangannya berhenti begitu saja pertanda lembar terakhir buku itu sudah penuh. Sekarang sudah tak ada lagi space kosong dalam buku harian usang itu. Ia memutuskan untuk menutup buku harian usang miliknya, lalu meletakkannya di lantai kotor yang penuh dengan debu. Ia menutup mata, mencoba menghirup udara segar, namun ternyata hanya sesak yang ia rasa.

Nara meraih kaleng minuman berwarna hijau hendak meredakan dahaga yang kian menggerogotinya. Akan tetapi, sedetik kemudian seorang lelaki jangkung yang entah datang dari mana merebut kaleng dari genggaman gadis cantik itu lalu meneguk isinya hingga tandas tak bersisa.

Nara terkejut! Bagaimana bisa ada orang lain di tempat kotor dan terbengkalai seperti ini? Apa mungkin lelaki ini mengikutinya? Tapi kenapa? batin Nara masih tak bersuara.

“Aku hanya punya satu kaleng minuman, kak,” ucap Nara setenang mungkin, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

“Kamu alergi soda,” celetuk si jangkung.

Nara tentu saja kaget, “Dari mana kakak bisa tahu?”

Yogi, si lelaki jangkung itu terkekeh sambil  menyeka sisa air soda di ujung bibirnya.

“Kejadian saat ospek setahun lalu masih jelas diingatanku,” ucapnya dengan menatap si gadis dari samping.

Nara diam, meremat jarinya keras. Ia kesal, ia marah, namun mulutnya bungkam.

Hening sesaat membuat keduanya merasa canggung. Diawali dengan helaan nafas berat, Yogi pun berucap. “Setahun lalu aku tergopoh menggendongmu ke rumah sakit, dengan dirimu yang kejang-kejang karena tidak sengaja meneguk minuman milik temanmu, yang sialnya itu soda berperasa lemon. Dokter saat itu memberitahuku bahwa kamu alergi soda,” jeda sejenak digunakan Yogi untuk menatap gadis di sampingnya. “Dan saat ini, kamu dengan sengaja ingin mengakhiri hidup dengan menenggak minuman itu lagi?” lanjutnya.

“Kenapa dulu kakak repot-repot menggendongku ke rumah sakit? Seharusnya biarkan saja diriku sekarat kemudian meregang nyawa,” air mata si gadis luruh lagi.

Yogi melihat Nara menangis sesenggukan hingga membuat hatinya sedikit tercubit. Tangannya ingin mengelus surai hitam itu, namun ia urungkan.

Tak sopan, begitu batinnya.

Everything is gonna be okay, Ra,” ucapnya.

“Kakak tidak tahu apa-apa,” sanggah Nara, sambil terus meremat tangannya sendiri.

“Aku memang tidak tahu seberat apa hidupmu saat ini Ra. Tapi, boleh aku memberitahumu sesuatu?” tanya Yogi lembut. Nara mengangguk.

“Kamu itu kecil sekali jika dibandingkan dengan seluruh isi semesta. Tapi, dirimu yang kecil ini bisa saja menjadi semesta bagi orang lain,” ungkap Yogi.

Nara tertawa sumbang, “Orang lain siapa kak? Aku bahkan tak punya siapa-siapa di dunia ini.”

“Aku, teman sekelasmu, Pak Satpam, Ibu Kantin, tak tahu mungkin salah satu dari mereka?”

“Kakak sebenarnya ingin bicara apa? Aneh sekali. Lagipula ini hidupku kak, kamu tidak usah  ikut campur,” tukasnya.

Everyone has a happy ending, if you’re not happy it’s not the end. Lagipula mendahului takdir tuhan itu tidak baik Ra,” tutur Yogi. “Mengakhiri hidupmu di cuaca cerah seperti ini? yang benar saja, bukannya mati dalam tenang yang kamu dapat, melainkan mati dalam penyesalan,” lanjutnya.

Nara semakin menundukkan kepalanya. Kata-kata yang terucap dari mulut kakak tingkatnya itu seperti menghujam jantungnya. Walaupun hanya kalimat singkat namun semua yang keluar dari mulut Yogi memang benar adanya.

“Tapi…” 

“Kamu fikir semua akan selesai jika kamu mengakhiri hidupmu? Kamu fikir tidak ada yang peduli padamu di dunia ini? Masih banyak kebahagian yang menunggumu. Masih banyak manusia yang akan sangat peduli padamu. Fikirkan semua itu baik-baik Ra,” tutur si lelaki.

Hening.

“Kamu benar, maaf kak,” cicit Nara.

“Kenapa minta maaf padaku? Minta maaflah pada dirimu sendiri.”

Hening lagi.

“Kak.” 

Hmm?”

“Terima kasih ya.”

“Nah, promise me you won’t do stupid things like that again.

“Uh-um, i’ll try,” senyum Nara mulai terbit lagi.

“Hapus air matamu,  ayo ikut aku,” ajak Yogi.

“Kemana?” Tanya si gadis sambil menyeka sisa air mata di pipinya.

Yogi beranjak, “Aku traktir boba, hitung-hitung sebagai ganti air sodamu yang kuminum tadi. Mulai sekarang jangan minum soda lagi ya, sebagai gantinya aku akan traktir boba kapanpun kamu mau, setuju?” tanya Yogi masih dengan senyumnya.

“Baiklah.”

“Oh ya, selamat ulang tahun Nara.” 

Siapa mengira kakak tingkat yang dulu ia benci setengah mati karena perangainya yang ketus malah menjadi satu-satunya orang yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya? Nara bahkan hanya bisa tersenyum.

Tangan Yogi terjulur, “Ayo ku traktir boba.”

Tiga detik kemudian, Nara pun menerima uluran tangan si kakak tingkat, diiringi dengan senyumnya yang makin lebar.

Lucu sekali, pikir Nara. Setengah jam lalu ia berniat mengakhiri hidupnya dengan menenggak minuman bersoda. Namun pada akhirnya, ia malah ingin hidup selamanya hanya karena traktiran boba.

Ia sadar, bahwa memang belum saatnya hidupnya berakhir. Ia masih harus mencoba untuk bersyukur, ia masih harus menikmati hembusan angin di atas rooftop itu, ia masih harus menagih janji traktiran boba dari kakak tingkatnya, ia masih harus dan sangat harus membuat dirinya sendiri bahagia.Pada akhirnya, semua ini  menyadarkannya bahwa dunia kadang memang kejam. Namun Tuhan tak pernah kejam, Tuhan sudah memilihkan akhir yang bahagia bagi setiap hamba-Nya. Yang perlu dilakukan hanyalah menerima dengan lapang dada, menjalani sekuat tenaga, dan yakin bahwa semua akan baik-baik saja pada akhirnya.

(Ayu Puspita Windi/Analis Keuangan/Polines)

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai