Mimpi Sejati sang Astronot Perempuan

Ilustrator : Satrya

Kabut pagi tampak masih menyelimuti bumi. Dinginnya udara luar kini terasa menusuk tulang seiring adzan subuh yang berkumandang. Zeta kembali menarik selimutnya karena enggan untuk sekadar membuka mata. Namun, sayup-sayup suara ibu yang memanggil, memaksanya untuk bangun menyambut esok pagi nan dingin ini. “Zeta bangun, sudah subuh. Ayo salat!” teriakan ibu membuat Zeta langsung menarik dirinya dari alam mimpi, dan beranjak menunaikan salat.

Zeta Sagittarii, layaknya sebuah sistem bintang tercerah ketiga di rasi Sagitarius. Kedua orang tuanya berharap Zeta menjadi sinar yang terang seperti namanya. Mimpinya cukup unik, Zeta ingin menjadi seorang astronot yang menjelajahi luasnya angkasa dan tentunya bekerja di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Tak sampai di situ saja, kecintaannya terhadap dunia perbintangan berlanjut hingga bangku SMA. Ketika ada pengumuman seleksi untuk mengikuti olimpiade astronomi, Zeta melaluinya dengan penuh optimis. Berkat dukungan orang tuanya, ia berhasil mendapatkan medali emas pada ajang olimpiade astronomi baik di tingkat provinsi maupun nasional.

Rasanya waktu amat cepat berlalu. Saat-saat yang menegangkan pun tiba, dimana ujian sekolah dilaksanakan. Dua minggu sudah ujian sekolah telah Zeta lalui. Kini hari kelulusannya telah tiba. Berlari dengan bangganya sambil memegang ijazah SMA lalu memeluk erat ayah ibu di depan sana.

“Ayah…ibu, Alhamdulillah Zeta menjadi lulusan terbaik,” ucapnya dengan wajah penuh bahagia.

“Selamat ya nak, ayah dan ibu sangat bangga kepadamu. Tetaplah semangat untuk mengejar mimpimu menjadi astronot,” balas sang ayah penuh bangga.

Bermimpi menjadi astronot membuatnya harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan beasiswa. Kata-kata cemooh dan ejekan pun seringkali ia dapatkan. “Kamu itu perempuan, mimpi kamu untuk menjadi astronot itu terlalu tinggi, Zeta!” ejek Rani salah satu temannya di sekolah.

Bukan hanya Rani, tapi guru di sekolahnya juga tidak mendukung cita-citanya. “Astronot perempuan di Indonesia itu jarang sekali, masih banyak jurusan lain yang bisa diambil dan memiliki peluang kerja yang jauh lebih besar,“ kata gurunya kepada Zeta. “Zeta, kamu boleh bermimpi setinggi langit, tapi kamu juga harus berfikir secara rasional,” tambah gurunya.

Meskipun lingkungannya mengatakan kalau mimpi Zeta terlalu tinggi, ia justru tidak takut akan gagal, semua itu ia jadikan motivasi untuk belajar. Ia percaya bahwa mimpi setinggi apapun akan tetap tercapai dengan kegigihan dan usaha.

Di saat lingkungannya tak mendukung mimpinya, dan kalimat pasrah pun hampir saja terucap, Zeta berhasil mendapatkan beasiswa bidikmisi. Sebelumnya, Zeta sudah mengajukan nilai rapor dan mengisi formulir pendaftaran sesuai jurusan dengan mengajukan Kartu Indonesia Pintar (KIP-K). Kini namanya masuk ke dalam daftar mahasiswa baru Jurusan Astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Senyum haru tak pernah luntur dari wajah orang tuanya. “Ayah dan ibu sangat bangga kepadamu Zeta, putri ayah telah bersinar seperti bintang,” ucap sang ayah dengan bangga.

Sebagai mahasiswa astronomi, Zeta belajar tentang berbagai benda yang ada di alam semesta, seperti asteroid, planet, bintang, galaksi, bahkan alam semesta itu sendiri. Beberapa hal seperti mengapa bintang bersinar, mengapa langit gelap, dan mengapa tahun kabisat terjadi setiap empat tahun, juga Zeta pelajari. Semua pertanyaan tersebut berhasil Zeta jawab dengan mata kuliah fisika yang saling berhubungan dengan matematika, mulai dari ranah klasik Newtonian, relativitas Einstein, sampai mekanika kuantum. Selain itu, astronomi juga mempelajari masa lalu, karena apa yang dilihat lewat teropong bukanlah kondisi objek saat pengamatan dilakukan, tetapi kondisi objek beberapa detik, bahkan beberapa miliaran tahun yang lalu.

“Zeta, bagaimana tugas pengamatanmu kemarin, apakah sudah selesai?,” tanya Dewi salah satu temannya.

“Hari ini aku sudah mulai presentasi Wi, semoga saja tidak ada revisi,” keluh Zeta. Ya, Zeta memang sedang mempelajari tentang prinsip dasar pengamatan menggunakan teleskop.

Prinsip pengamatan ini Zeta dapatkan dalam mata kuliah Laboratorium Astronomi dengan teleskop di Observatorium Bosscha, lembaga riset yang berada di bawah naungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB. Sayangnya, saat ia sudah mengambil mata kuliah ini, teleskop legendaris Zeiss salah satu bagiannya sedang mengalami kerusakan. Hanya satu kelompok saja yang sempat memakai teleskop tersebut dan itupun diganggu awan semalaman, sehingga Zeta tidak mendapatkan data yang diinginkan.

“Yah sayang sekali, teleskop legendaris Zeiss tidak bisa kami pakai,” keluh Zeta. Namun, selain teleskop Zeiss, ada banyak teleskop lain di Bosscha. Akhirnya, Zeta dan teman sekelompoknya menggunakan teleskop portable Vixen dengan kamera CCD untuk mengamati bintang variabel dan gugus bintang.

Hari-hari yang cukup berat secara mental telah Zeta lalui, mulai dari tugas membuat proposal pengamatan, presentasi, revisi, lalu melakukan pengamatan kembali hingga akhirnya tugas itu bisa ia kumpulkan. Mahasiswa astronomi juga dibebaskan dalam memilih topik untuk tugas akhir, salah satunya mengamati bintang tertentu di Bosscha seperti yang Zeta lakukan. Betapa asiknya saat Zeta ke Bosscha untuk mengamati langit malam menggunakan teleskop Zeiss yang ada di dalam bangunan berkubah yang sangat ikonik.

“Mempelajari benda-benda langit mengajariku makna bersyukur dan rendah hati. Bumi adalah tempat tinggal yang paling sempurna di alam semesta dengan segala keindahan dan kehidupannya,” ucap Zeta dengan penuh rasa syukur.

Ilmu perbintangan dan teknologi luar angkasa yang telah Zeta pelajari berhasil membawanya menjadi lulusan terbaik Jurusan Astronomi di ITB. Selain itu, ia juga berhasil menyelesaikan S2 di Massachusetts Institute of Technology (MIT) setelah mendapatkan program beasiswa dari pemerintah Indonesia melalui pemanfaatan Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN) yang dikelola oleh Lembaga Pengembangan Dana Pendidikan (LPDP) dengan mendapatkan predikat cumlaude. Sekarang Zetta telah diterima di LAPAN dan mendapatkan kesempatan untuk menjadi peneliti ruang angkasa. Nasihat dari ayahnya tak pernah ia lupa, “Untuk menjadi pemimpi sejati, kamu perlu melangitkan harapan, bukan di bawah awan, melainkan di atas bintang yang bertebaran.”

Kini tibalah hari penerbangan Zeta setelah ia bekerja di LAPAN untuk menjadi peneliti ruang angkasa. Rasa gugup, bangga, dan bahagia telah menjamu jadi satu. Mimpinya tak lagi sebatas langit-langit kamar. Benar kata ayah, “Untuk menjadi versi tertinggi, kita butuh melangitkan mimpi dan melakukan aksi.”

Sebuah sapaan berhasil menambah kegugupannya, “Astronot Zeta, sudah siap?” tanya beberapa kru yang sudah bersiap membantunya naik pesawat ulang-alik. Ia mengangguk sebagai jawaban. “Tiga…Dua…Satu…,” hitung mundur semua orang yang hadir untuk mengantarkannya terbang ke luar angkasa dengan senyuman penuh rasa bangga.

Oleh : Alifa Salsabilla

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai