Resensi Film: Bumi Manusia

Oleh: Aji Syamsul

Sutradara: Hanung Bramantyo
Produser: Frederica
Penulis: Salman Aristo
Pemain: Iqbal Ramadhan
Mawar Eva de Jong
Sha Ine Febryanti
Ayu Laksmi
Donny Damara
Bryan Domani
Giorgino Abraham
Jerome Kurniawan
Perusahaan produksi: Falcon Pictures
Tanggal rilis: 15 Agustus 2019 (Indonesia)

Bumi Manusia merupakan film yang mengisahkan dua anak manusia yang menjalin cinta pada zaman kolonial awal abad ke-20. Film yang diadaptasi dari buku dengan judul sama karya Pramoedya Ananta Toer ini, menampilkan Minke (Iqbal Ramadhan) yang merupakan anak pribumi. Minke digambarkan dengan sosok yang berpemikiran revolusioner dan mengagumi kemajuan Eropa. Namun, tetap dipandang rendah oleh teman lainnya karena dia hanyalah seorang pribumi.

Pertemuannya dengan Annelies (Mawar Eva de Jong) yang merupakan putri Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) menimbulkan banyak prahara. Perasaan yang timbul di antara keduanya menimbulkan banyak pihak melarangnya, termasuk ayah dan Kakaknya. Juga kedekatan Minke dengan Nyai Ontosoroh membuat ayah Minke tak setuju karena dia hanyalah seorang Nyai yang sama rendahnya dengan binatang peliharaan. Namun, kemajuan pemikiran dan perjuangan Nyai membuat Minke semakin mengaguminya.

Banyak polemik yang terjadi, seperti hilangnya hak asuh Nyai Ontosoroh atas Annelies, pernikahan yang tidak sah, hingga tuduhan atas pembunuhan membuat kebahagian Minke dan Annelies harus direnggut oleh hukum bangsa kolonial.

Film yang berdurasi kurang lebih tiga jam ini sangat menarik untuk ditonton karena banyak sejarah yang diceritakan. Penggambaran alur cerita yang sangat ringan, kepiawaian pemeran dalam memerankan aktingnya sangat patut diapresiasi. Salah satunya yaitu karakter Nyai Ontosoroh yang digambarkan dengan sangat tegas dan berani dalam melawan bangsa kolonial Belanda.

Dibalik kepiawaian pemeran, kelemahan dari film ini yaitu masih banyak polemik yang diangkat tidak sesuai dengan buku aslinya. Seperti, perdebatan antara Minke dengan Sarah dan Miriam de la Croix, kisah Nyai Ontosoroh dan Maiko yang tidak dikuak secara mendalam, hingga diskusi antara Minke dengan guru favoritnya yang mengajar bahasa dan sastra di HBS (HogereBurgerschool). Magda Peters hanya mendapat porsi sedikit di film ini. Selain itu, penggunaan CGI masih terlalu kasar.

Walaupun begitu, film ini sangat cocok bagi generasi milenial. Selain sisi romance, banyak ilmu sejarah yang dapat kita pelajari dari film ini.  Film ini mengingatkan kita bahwa bangsa kita dulu telah berjuang keras untuk kebebasan bangsa pribumi meskipun akhirnya kalah. Seperti  kata Nyai Ontosoroh di akhir film, “Kita sudah melawan, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *