Mengenal Hustle Culture
Apakah Sahabat Dims pernah membuat story di Instagram tentang pekerjaan? Atau sengaja mengunggah kesibukan di media sosial agar terlihat pekerja keras di mata atasan dan rekan-rekan kerja? Atau mungkin pernah terus bekerja tanpa henti hingga tak punya waktu untuk diri sendiri? Bisa jadi Sahabat Dims pernah merasa cemas atau insecure ketika melihat karier teman-teman melesat, sementara hidupmu terasa stagnan. Ini adalah gejala dari budaya kerja berlebihan yang kini tren di kalangan anak muda. Sebenarnya, apa penyebabnya?
Perkembangan dunia digital yang pesat membuat pekerjaan dituntut lebih cepat selesai. Alih-alih memudahkan, teknologi modern sering kali justru menambah beban kerja dan tidak selalu menyederhanakan segalanya. Individu pun berlomba untuk sukses, berpacu dalam persaingan yang sering kali penuh dengan pengorbanan.
Media juga berperan besar dalam tren ini, baik media sosial pribadi maupun publik. Kita sering disuguhkan kisah sukses tokoh-tokoh seperti Bill Gates, Elon Musk, dan Nadiem Makarim, atau melihat teman-teman kita memamerkan capaian pekerjaan di media sosial. Hal ini mendorong kita untuk merasa kurang produktif, hingga terjebak dalam budaya kerja berlebihan atau hustle culture.
Hustle Culture atau Gila Kerja
Menurut pakar psikologi, hustle culture adalah budaya yang mengarah pada gila kerja atau workaholism (Setyawati, 2020). Istilah workaholism diperkenalkan pertama kali oleh Wayne Oates dalam bukunya Confessions of a Workaholic: the Facts About Work Addiction (1971). Hustle culture sekarang mengacu pada dorongan untuk bekerja keras melampaui batas kemampuan hingga menjadi gaya hidup, di mana hari-hari dihabiskan untuk bekerja tanpa waktu untuk kehidupan pribadi.
Di era kompetisi tinggi ini, produktivitas dihargai, dan kerja keras sering kali menjadi standar untuk menilai kinerja seseorang. Sosial media pun memperburuknya dengan tren menunjukkan kesibukan di kalangan muda. Menurut studi Robinson (2019), 45% pengguna sosial media gemar mengunggah tentang kesibukan mereka untuk menunjukkan bahwa mereka pekerja keras. Pengaruh ini mendorong kita untuk menganggap kerja keras berlebihan sebagai sesuatu yang keren, hingga kita merasa perlu memperlihatkan kesibukan agar dianggap produktif.
Kerja Keras Bukan Selalu Positif
Pada dasarnya, kerja keras adalah hal baik, tetapi bila kita berlebihan hingga mengorbankan waktu istirahat, ini dapat berakibat buruk bagi kesehatan fisik dan mental. Penganut hustle culture sering kali mengabaikan kebutuhan tidur, dan terus bekerja meski tubuh mereka butuh istirahat. Kebiasaan ini menjadi normal hingga mereka tak lagi menyadari sinyal tubuh untuk beristirahat, yang akhirnya berdampak negatif dalam jangka panjang.
Sebagian orang mungkin tidak menganggap hustle culture berbahaya, tetapi kita perlu mengutamakan kesehatan fisik dan mental. Kesuksesan tidak selalu sejalan dengan kebahagiaan. Penelitian di Current Cardiology Reports menunjukkan bahwa orang yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit jantung dan diabetes.
Pandemi pun telah mempengaruhi jam kerja, membuat batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin kabur. Survei menunjukkan bahwa pekerja merasa jam kerja mereka bertambah selama WFH (Work From Home), yang berimbas pada kesehatan mental. Namun, studi John Pencavel menunjukkan bahwa bekerja terlalu lama tidak meningkatkan produktivitas, justru bekerja lebih dari 48 jam per minggu bisa menurunkan produktivitas.
Menurut Dr. Jeanne Hoffman, bekerja terlalu lama juga dapat menurunkan kreativitas, dan pekerja dengan jam kerja panjang cenderung mengabaikan keluarga. Padahal, menghabiskan waktu bersama orang tercinta bisa mengurangi stres. Kebahagiaan yang kita dapatkan dari relasi sosial bisa menjadi sumber kreativitas dan energi positif.
Bukan hanya merugikan diri sendiri, pelaku hustle culture sering kali mengharapkan rekan kerja untuk bekerja keras seperti mereka, misalnya dengan memberi tugas pada hari libur. Hal ini bisa menimbulkan konflik dan menurunkan produktivitas tim. Tentu kita tidak ingin hal buruk ini terjadi, bukan?
Cara Mengatasi Hustle Culture
Agar hustle culture tidak berdampak buruk, berikut beberapa tips yang bisa diterapkan:
- Sadari Kondisi Tubuh
Saat kamu merasa bekerja terlalu lama dan mulai lelah, berhentilah dan istirahat. Setiap orang memiliki batas yang berbeda, jadi penting untuk mengenali dan menetapkan batasan.
- Buat Perencanaan yang Baik
Buat jadwal kerja dan jadwalkan waktu istirahat atau liburan untuk mencegah kelelahan.
- Tetapkan Target yang Realistis
Meski ambisius itu baik, pastikan target yang kamu tetapkan dapat dicapai. Langkah kecil yang konsisten lebih efektif daripada langkah besar yang sulit diraih.
- Berhenti Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Fokus pada diri sendiri tanpa perlu membandingkan dengan pencapaian orang lain. Setiap orang memiliki jalur karier dan tujuan berbeda.
Itulah beberapa langkah untuk terhindar dari hustle culture dan menjaga gaya kerja yang sehat. Bekerja keras adalah hal baik, tetapi ingatlah bahwa kita juga punya kehidupan pribadi. Bekerjalah untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.
Sumber :
www.djkn.kemenkeu.go.id
tangkap mulyono
Mesin memang tidak bisa diatur, namun memiliki aturan tersendiri. PPM masih berjalan lancar tapi berjalan dibalik layar
Mesin memang tidak bisa diatur, namun tetap memiliki aturan tersendiri. PPM tetap berjalan namun dibalik layar
baguss lillll 👌
Font artikel lpm tipis banget, warnanya juga tidak hitam