Peringati Hari HAM Internasional, Massa Aksi Justru Direpresi Haknya
Semarang, Dimensi (11/12) – Tanggal 10 Desember merupakan hari di mana Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional diperingati. Peringatan tersebut digelar di kota Semarang dengan diadakannya aksi dan panggung rakyat pada Selasa (10/12) kemarin. Kegiatan aksi dimulai pukul 13.00 WIB dan melibatkan massa kurang lebih 150 orang. Massa aksi terdiri dari seniman, buruh, mahasiswa, Non Government Organization (NGO), dan aliansi pelajar Semarang yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli HAM. Titik kumpul aksi yaitu di Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), dan berakhir di kantor Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah (Jateng). Selepas aksi, kegiatan dilanjutkan dengan acara panggung rakyat di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS). Namun yang disayangkan ialah, di tengah pelaksanaan aksi, justru massa aksi mendapatkan tindakan represif dari aparat kepolisian. Yang mana hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM (red: Hak menyuarakan pendapat) itu sendiri.
Tindakan Represif Aparat Kepolisian pada Massa Aksi
Pelaksanaan Aksi peringatan HAM Internasional dilakukan dengan cara berkeliling ke institusi pemerintahan Kota Semarang, yangmemiliki maksud untuk menyuarakan hak-hak rakyat sesuai dengan bidangnya. Salah satu institusi pemerintahan yang digunakan sebagai lokasi menyuarakan aksi yaitu Balaikota. Aziz Rahman Ahmadi, Koordinator Lapangan aksi menjelaskan tujuan massa aksi ke Balaikota. “Kita ke Balikota, tujuannya agar HAM di Semarang itu ditegakkan, terus pelanggaran HAM jangan sampai ada lagi.” Tak berhenti sampai di situ, setelah dari Balai kota massa aksi melanjutkan long march menuju kawasan kantor dinas. Pada Kantor Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) para buruh menyuarakan aspirasinya agar mendapatkan hak yang layak. Kemudian berlanjut ke Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Semarang, di sana massa aksi menyoroti mengenai iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang naik. Sampai pada puncaknya Aksi diselenggarakan di Kantor Polda Jateng.
Di sinilah keadaan aksi mulai chaos, hal tersebut dipicu karena adanya perampasan secara paksa terhadap atribut aksi yang dibawa oleh salah satu massa aksi dari Papua. Atribut aksi yang dibawa yaitu kertas bergambar bintang kejora, yang merupakan suatu bentuk ekspresi. Massa aksi Papua tersebut menyuarakan tuntutannya, yaitu menginginkan adanya penarika pasukan militer yang ada di Papua, karena dianggap sebagai sumber konflik. Akan tetapi, saat massa aksi tengah berorasi, salah satu aparat tiba-tiba merampas paksa gambar bintang kejora tersebut. Hal inilah memicu terjadinya adu fisik antara massa aksi dengan aparat karena hal tersebut. Bahkan disebutkan oleh Aziz, bahwa dirinya mengalami tendangan pada saat upaya pengambilan kembali gambar bintang kejora yang dirampas aparat kepolisian. “Tidak ada korban, tapi tadi sempat ada pemukulan oleh polisi. Saya tadi sempat ditendang juga,” ujar Aziz.
Rama Kantowijaya, koordinator lapangan massa aksi berkata bahwa gambar itu tidak tahu akan dibawa ke mana oleh aparat. “Sampai saat ini kami belum tahu gambar itu di mana. Kalau berdasarkan hukum menurut mereka boleh saja dirampas, tetapi ketika kami menanyakan undang-undangnya apa, mereka (aparat) tidak bisa menjawab,” ujar Rama. Ia juga menambahkan seharusnya ekspresi massa aksi melalui gambar itu tidak boleh dibungkam. “Kalau dari pandangan kami, bintang kejora itu adalah ekspresi kebudayaan dari orang Papua. Begitu juga ditegaskan oleh presiden RI terdahulu yaitu, Abdurrahman Wahid, beliau mengakui lambang bintang kejora adalah lambang kebudayaan masyarakat Papua, sehingga kita tidak boleh menggangu mereka untuk berekspresi seperti itu,” jelas Rama.
Tuntutan Massa Aksi
Pada aksi kali ini, massa membawa beberapa tuntutan dan secara garis besar meminta hak mereka sebagai rakyat dan menuntut agar kasus pelanggaran HAM agar segera diselesaikan. Berikut adalah tuntutan massa dalam aksi kali ini:
- Tuntutan atas hak akses kesehatan rakyat yang belum optimal, memprotes kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan menuntut kemudahan akses bagi disabilitas.
- Tuntutan soal perlakuan adil kepada buruh dan penyelesaian konflik agraria di Urut Sewu (Kebumen) dan Kendeng (Pati).
- Tuntutan untuk pendidikan yang gratis, demokratis, ilmiah, dan ber-basic kerakyatan.
- Tuntutan kebebasan pers.
- Kebebasan dalam seni.
- Kebebasan beragama dan dihilangkannya diskriminasi.
Rama menjelaskan poin-poin di atas dijadikan tuntutan. Ia menjelaskan terkait poin pendidikan. “Kami bukan cuma minta pendidikan gratis, tapi juga demokratis, karena dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini demokratisnya sangat minim sekali. Berdasarkan data, banyak mahasiswa yang di-drop out karena mengkritisi kampusnya.” Ia menambahkan alasan lainnya soal tuntutan aksi terkait kebebasan beragama dan penolakan perlakuan diskriminatif. “Kami meminta kebebasan beragama, karena ada konflik di salah satu daerah di Semarang yang kemudian gereja itu direpresif oleh salah satu organisasi masyarakat (ormas). Lalu kami ingin agar tidak ada diskriminatif terhadap minoritas seksual, karena tes CPNS itu kemarin ada diskriminasi terhadap LGBT di proses seleksinya,” papar Rama.
Pagelaran Seni di TBRS Selepas Aksi
Setelah melalui situasi yang tegang di depan Kantor Polda Jateng, massa aksi melanjutkan serangkaian acara mereka di TBRS. Mereka menyelenggarakan acara panggung rakyat berupa musikalisasi puisi, teatrikal oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang menggambarkan tindakan represif aparat kepolisian, orasi politik, penampilan musik akustik dan lain sebagainya. Pengisi acara diisi oleh Latree Manohara, Adieets Kaliksanan, Babak Bondas, Teater Emka, Kasbi Jateng, dan masih banyak lagi.
Harapan Soal HAM di Masa Datang
Berbicara harapannya mengenai HAM, Rama menegaskan tentang memanusiakan manusia atau dalam hal ini tidak boleh ada diskriminasi. “Manusia itu tidak dilihat dari suku ras agama atau apapun itu. Kemanusiaan itu tujuan kita hidup, jadi kalau tidak ada kemanusiaan untuk apa kita hidup, ya tujuannya memanusiakan manusia,” ujar Rama. Selain itu, Aziz juga turut memaparkan harapannya. “Harapannya ada peringatan, untuk menyadarkan masyarakat kalau mereka punya hak. Harapannya ke depan ketika HAM-nya terenggut (dilanggar) kita bisa bergerak, bisa menyuarakannya. Jelas Aziz.
Sebagai penutup, kami menanyai respon Aziz selaku penanggung jawab acata tentang jumlah masa yang tidak begitu banyak. “Tidak apa-apa yang antusias belum banyak. Walaupun misal yang datang hanya 10 orang tetap dilakukan. Karena berjuang kan tidak ada yang namanya kecewa,” pungkas Aziz. (Hanifah, Joti)
tangkap mulyono
Mesin memang tidak bisa diatur, namun memiliki aturan tersendiri. PPM masih berjalan lancar tapi berjalan dibalik layar
Mesin memang tidak bisa diatur, namun tetap memiliki aturan tersendiri. PPM tetap berjalan namun dibalik layar
baguss lillll 👌
Font artikel lpm tipis banget, warnanya juga tidak hitam