Mimpi sang Violinist

Oleh: Ririn Anjarwati

Ilustrator : Riris

29 Desember 2020

Hari yang cerah tapi rupanya tak dirasakan oleh seorang gadis dengan potongan rambut pendek sebahu yang tengah duduk menopang dagu di kamarnya. Dia Kanin Anindya atau sering dipanggil Kanin, terlihat sedang merenungkan sesuatu yang mengganggu benaknya akhir-akhir ini. Pikirannya terpusat kembali pada beberapa bulan lalu tepatnya bulan Mei, dimana ia harus menelan kepahitan hidup saat ayahnya dinyatakan meninggal karena Corona Viruses Desease 2019 (Covid-19). Kanin tahu kalau sebenarnya penyebab sang ayah tiada juga dari penyakit lain yakni paru obstruktif kronis yang diderita sang ayah semenjak usia 40 tahun. Saat itu, ada hal yang paling membuat Kanin menyesal di saat-saat terakhir ayahnya tiada, ia tidak bisa memeluk sang ayah secara langsung untuk yang terakhir kalinya.

Di saat itu juga, ia menerima kabar buruk. Mimpi terbesarnya terpaksa pupus secara sepihak. Di sini Kanin mulai sadar kalau Covid-19 secara tidak langsung berperan besar dalam perubahan hidup yang dialaminya kala itu. Dimulai dari kehilangan sang ayah hingga mimpinya untuk menjadi seorang violinist di sebuah panggung besar hanyalah menjadi sekadar harapan tak nyata. Air mata Kanin mulai menetes mengingat potongan kejadian dari kenangan yang dilaluinya selama ini. Kanin terisak sampai terdengar dering telepon dengan nama ‘Sienna’ dari telepon genggamnya yang akhirnya bisa menyadarkan dirinya dari isak tangis. Pikiran Kanin bekecamuk tetapi ia memutuskan untuk mengangkat telepon dari Sienna ‘partner’ musik terbaiknya selama ini sambil melirik jam dinding di kamarnya. Sekarang Kanin tahu kesalahannya, ia sudah melupakan jadwal latihannya sore ini.

“Kanin kamu di mana, sih?” Kanin tahu bahwa ia telah melewatkan latihan musik rutin. Nyalinya menciut membayangkan sang konduktor musik yang mungkin menyayangkan sikap Kanin kali ini.

“Maaf Sie, aku lupa kalau ada latihan,” jawab Kanin masih dengan suara seraknya karena menangis.

Sienna tampak terdiam sebentar saat mendengar nada suara Kanin yang seperti usai menangis. Ia tahu apa yang dilalui oleh ‘partner’ bermusiknya selama ini dan mungkin Kanin benar sedang tidak baik – baik saja mengingat potongan kejadian beberapa bulan lalu. Sienna yakin dengan melihat seorang Kanin sekilas saja menyiratkan kalau dia belum bisa melupakan kejadian itu.

It’s okay take your time, aku cuma mau mengingatkan kalau kamu sedang berada di one step closer to reach your biggest dream. Meskipun ini hanya konser virtual, but this is your time to make your parents proud of you,” ucap Sienna. Sedangkan Kanin hanya terdiam meresapi setiap untaian kata yang diucapkan oleh Sienna kali ini.

“Makasih Sie,” jawab Kanin akhirnya.

“Jangan lupa besok datang latihan karena tinggal dua hari lagi. You will have your stage Kanin,” ucap Sienna di akhir lalu segera memutuskan panggilan teleponnya dengan Kanin.

Setelah panggilan dari Sienna terputus, Kanin masih terdiam. Lalu, dirinya beranjak menapaki lantai dingin rumah yang terlihat sangat sepi dibandingkan jauh beberapa bulan yang lalu. Bunda-nya belum juga pulang dari kantor sehingga di dalam rumah hanya ada Kanin dan seorang bibi yang mengasuhnya sedari kecil. Kanin melangkahkan kakinya ke sebuah ruang khusus dengan dinding berhiaskan pajangan biola dengan jenis yang berbeda – beda tentunya dan berhenti ke arah cremona cervini HV – 150. Kanin ingat kalau itu salah satu biola kenangan dari sang ayah yang dibuat dari perpaduan antara kayu maple dengan cemara. Ingatannya kembali melayang pada masa lalu ketika pertama kali gadis itu mendapatkan cremona cervini pertamanya.

Setelah terdiam lagi cukup lama, Kanin merasakan ada seseorang yang membuka pintu ruang khusus itu. Suara langkah kaki terdengar semakin jelas menandakan seseorang semakin mendekat ke arahnya. Kanin tahu seseorang yang berhenti di belakangnya saat ini yaitu bunda Kanin dengan seragam kantor yang masih melekat.

“Kanin, kamu engga latihan?” tanya sang bunda hingga gadis itu memutuskan untuk berbalik menghadapnya.

“Kanin lupa Bun, maaf.” Kanin sedang mencoba untuk tersenyum menyambut sang bunda.

Bunda Kanin menghela napas, lalu memusatkan dirinya ke arah putri kesayangannya itu. “Kamu tahu kalau ini mimpi kamu kan, Kanin?” Kanin mengangguk menanggapi. “Diantara semua wishlist kamu di tahun ini, berada di sebuah panggung besar dengan permainan biola adalah mimpi terbesar kamu, you know what you have to do, right ?”

Kanin masih menatap netra sang bunda yang kian meredup melihatnya. “Mimpi Kanin tahun ini bisa pergi sama ayah liburan ke tempat yang ayah suka Bun, ingin menampilkan yang aku punya di depan Ayah, menjadi violinist yang sebenarnya dengan Ayah di samping aku,” Kanin menangis memeluk bunda-nya.

“Kanin, Bunda cuma mau bilang kalau bumi tetap berputar pada porosnya meskipun sampai saat ini kamu masih terpuruk karena kehilangan Ayah. Waktu akan terus berjalan dan mimpi yang engga bisa kamu capai di tahun ini sudah menunggu kamu di tahun depan,” Kanin mengangguk mendengarkan. “Sekarang kamu sudah tahu kan apa yang harus kamu lakukan?” sekali lagi Kanin tampak mengangguk, mengerti maksud sang bunda.

Cukup lama, akhirnya Kanin melepas pelukan bunda-nya lalu tersenyum meresapi semua perkataan Sienna dan bunda. “Benar”, ucap Kanin dalam hati sambil meyakinkan dirinya sendiri. Meskipun penampilannya hanya dapat dilakukan secara virtual tetapi ini adalah mimpi terbesarnya. Mimpi dan cita-cita Kanin telah menunggu di tahun-tahun selanjutnya. Tetapi ia telah memutuskan kalau Cremona Cervini tetap jadi yang nomor satu dalam kehidupannya sebagai violinist. Mimpinya, menjadi seorang violinist akan terwujud bersama Sienna dan bunda yang mendukungnya.

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai