Diplomasi Maritim Indonesia atas Sengketa Kepemilikan Natuna

Ilustrator: Syauqi

Oleh: Habibah Auni (Mahasiswa Universitas Gajah Mada)

Kita tahu bahwa Indonesia baru-baru ini mengalami guncangan. Indonesia yang menguasai perairan, kini disusupi teritorialnya. Ya, Cina mengunjungi perairan Natuna tanpa diundang. Lebih sedihnya lagi, banyak sekali ikan di perairan Natuna yang dicuri. Penjaga pantai Cina bahkan kerap kali mengusir nelayan Indonesia agar tidak mencari ikan di wilayah tersebut. Lucunya, negeri tirai bambu menganggap bahwa tindakannya benar. Sampai-sampai perairan Natuna ia namakan sebagai Laut Cina Selatan. Kata Cina, mereka mempunyai sejarah yang tidak terpisahkan dengan Laut Cina Selatan.

Mirisnya, Cina merupakan peserta United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS), dimana Cina memiliki kewajiban untuk menghormati UNCLOS 1982. Apalagi UNCLOS 1982 menyatakan bahwa perairan Natuna merupakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Aneh sekali bukan, jika Cina masih mengklaim Laut Cina Selatan adalah miliknya?

Maka, jika pemerintah berlaku tegas terhadap perbuatan sepihaknya Cina, itu adalah langkah yang tepat. Sudah tidak mungkin untuk bernegosiasi lagi dengan Cina, karena Internasional pun tidak mengakui sejarah Laut Cina Selatan sebagai bagian dari Cina. Toh, Laut Cina Selatan saja sudah diganti namanya menjadi Laut Natuna Utara.
Menurut Arsana pengubahan nama menjadi Laut Natuna Utara ini adalah langkah diplomatis yang tepat, karena Indonesia dapat memberikan pesan yang jelas bagi Cina di tengah memanasnya sengketa di Laut Cina Selatan (Reuters 2017).

Patut disayangkan elit-elit pemerintah tidak satu suara menyikapi perkara Natuna. Kita bisa mengapresiasi Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi yang selalu tegas menghadapi penyusupan Cina ke perairan Natuna. Perilaku Bu Retno konsisten semenjak debutnya bersama Bu Susi Pudjiastuti, mantan menteri kelautan dan perikanan.

Berbeda dengan jajaran elit lainnya, yakni Pak Edhy Prabowo, Pak Prabowo Subianto, Pak Luhut Binsar Panjaitan, dan Pak Joko Widodo yang cenderung hati-hati dalam menanggapi perkara Natuna ini. Bagaimana tidak? Ketakutan akan kemarahan Cina senantiasa menghantui elit-elit ini. Cina murka, investasi di Indonesia bisa terhambat.

Seperti yang kita tahu, semenjak Bu Susi lengser, semakin banyak kapal ikan asing (KIA) yang mencuri ikan di wilayah nusantara, termasuk Natuna diantaranya. Ini bukanlah dugaan belaka. Buktinya, terjadi pendorongan terhadap perubahan peraturan Presiden RI No.44/2016, yang semula sub sektor perikanan tangkap dalam daftar negatif investasi (DNI) asing menjadi daftar prioritas investasi asing. Akibatnya, sekarang marak pengerukan sumber daya kelautan dan perikanan oleh KIA (Mongabay, 2019).
Indonesia juga tercatat mendapatkan aliran investasi dari China pada tahun 2019. Sebanyak 1.888 proyek diduga mendapatkan dana dari Cina yang nilainya mencapai $3,31 miliar (Indonesia, 2020).

Yah, mau bagaimana lagi? Sejak tahun 2015, pemerintah berpaling pada Beijing untuk mengisi celah infrastruktur. Bagi Indonesia yang hanya sanggup membayar sepertiganya kepada Amerika, 450 miliar dolar terbilang sangat mahal. Beijing yang menawarkan solusi pembangunan infrastruktur yang murah dan cepat, membuat Pak Jokowi terkesima. Alhasil, Indonesia sekarang terikat dengan kontrak bernama Jalur Sutra Modern.

Sehingga Pak Jokowi dalam menanggapi agresivitas Cina, cenderung lebih berhati-hati dalam bersikap. Sikap berhati-hati ini adalah bentuk penegasan, bahwa Indonesia dalam kasus ini netral. Posisi netral ini memiliki keuntungan bagi Indonesia karena pada waktu yang bersamaan di bawah Jokowi, Indonesia sedang membangun berbagai macam infrastruktur yang di dalamnya terdapat kerjasama antara Indonesia dengan Cina.

Selain itu menurut Piesse (2015), jika militer Indonesia menanggapi KIA Cina terlalu keras, maka tindakan tersebut akan mengundang perhatian Cina untuk melawan lebih keras lagi. Rasanya tidak mungkin Indonesia melawan negara yang secara militer jauh lebih kuat. Kemungkinan penyelesaian sengketa Natuna ini adalah melalui diplomasi lagi, face to face atau secara bilateral. Hal ini tidak perlu disangkal lagi, mengingat Pak Jokowi lebih suka mencari solusi tercepat dalam menyelesaikan permasalahan. Karena kalau melalui forum multilateral seperti ASEAN, belum tentu bisa menjamin masalah cepat terselesaikan (Soedarto, 2019). Belum lagi intervensi pihak ketiga dalam proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain, penyelesaian melalui forum regional tidak menguntungkan bagi Indonesia, khususnya bagi Pak Jokowi.

Maka dalam konteks perairan Natuna, penyelesaian secara bilateral lebih efektif dalam menyelesaikan masalah karena Indonesia bisa bergerak lebih leluasa dan melakukan tindakan berdasarkan kepentingan Indonesia sendiri. Tapi bukan berarti dengan diplomasi sengketa Natuna akan terselesaikan dengan mudah. Buktinya perkara ini terjadi secara menahun. Diplomasi bukanlah langkah yang bisa dikatakan paling tepat. Indonesia yang bergantung ekonominya terhadap Cina, selalu dianggap lebih lemah oleh mereka. Otomatis dari hasil diplomasi pun akan terdapat celah yang mana menguntungkan Cina.

Selama ini, Cina bergantung terhadap perairan Natuna dalam hal sumber daya perikanan, cadangan minyak, dan teritorial. Menurut data, perairan Natuna memiliki 3.365 spesies ikan dan cadangan minyak sebanyak 2,5 juta barel per hari. Selain itu, wilayah Natuna sangatlah strategis, mengingat pada masa Perang Dunia II daerah ini digunakan sebagai jalur keamanan lalu lintas kapal-kapal. Perairan Natuna juga sangat vital perannya unuk pelayaran kapal-kapal perang dari samudera Pasifik menuju Samudera Hindia (Shabrina, 2017).

Bagi Cina, Indonesia yang memiliki banyak kekayaan alam adalah salah satu sumber investasi terbesar. Tidak mustahil jika Cina akan memakai strategi yang sama, yakni diplomasi, untuk memperlama pencurian ikan besar-besaran melalui KIA.

Mau tidak mau, Indonesia harus tegas melawan agresivitas Cina. Karena jika tidak, Indonesia selamanya akan dalam pusaran perkara yang sama, dengan pola yang serupa pula. Vietnam saja berani tegas terhadap pencurian ikan yang dilakukan oleh Cina, masa Indonesia tidak?

Daftar pustaka:

  • Indonesia, C., 2020. Pecah di Natuna, Jokowi-Xi Jinping Tetap ‘Mesra’ di Investasi. [Online] Available at: https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20200104154405-532-462391/pecah-di-natuna-jokowi-xi-jinping-tetap-mesra-di-investasi [Accessed 4 Januari 2020].
  • Mongabay, 2019. KIARA: Kinerja Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Diragukan. [Online] Available at: https://www.mongabay.co.id/2019/12/30/kinerja-edhy-prabowo-diragukan-sebagai-menteri-kelautan-dan-perikanan/amp/ [Accessed 4 Januari 2020].
  • Shabrina, N. O., 2017. Perubahan Respons Indonesia Terhadap Klaim Nine Das Line Tiongkok yang Melewati Perairan Natuna. Jurnal Analisis Hubungan Internasional, 6(2), pp. 133-146.
  • Soedarto, H., 2019. Pengaruh Kepribadian Presiden Jokowi dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Studi Kasus Pelanggaran Cina di Natuna. Journal of Internal Relations, 5(2), pp. 323-331.
Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai