Penggusuran Paksa Warga Tambakrejo, Minim Rasa Kemanusiaan

Lokasi kejadian usai penggusuran pada Kamis (9/5). Dok. Alfandy

Pagi itu di hari Kamis (9/5), suasana yang awalnya cerah berubah menjadi Kamis kelabu. Bulan Ramadan yang semestinya khusyuk, harus diwarnai dengan insiden penggusuran. Penggusuran paksa permukiman warga oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dilakukan sekitar pukul 07.00 WIB di daerah Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. Penggusuran pada hari itu dilakukan tanpa dibukanya ruang dialog untuk warga Tambakrejo. Pihak Satpol PP tiba-tiba datang dengan membawa peralatan lengkap beserta empat buldoser yang digunakan sebagai alat guna merobohkan permukiman di Tambakrejo. Masyarakat diperlakukan semena-mena, tak pandang usia, anak-anak, dewasa, ataupun orang tua, barang siapapun yang melawan akan dipukul dan mendapati perlakuan kasar. Rozikin, salah satu warga Tambakrejo, yang kami datangi pada Jumat sore (9/5), menjelaskan bahwa ketika kejadian penggusuran banyak dari warga yang ingin mempertahankan tempat tinggal mereka, tetapi justru kekerasan yang didapat.

Perlawanan Masyarakat Tambakrejo
Menurut Rohmadi selaku Ketua RT 05 RW XVI, wilayah Tambakrejo, upaya penggusuran dari Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang bukan sekali ini terjadi, melainkan upaya ke empat dari Pemkot setelah sebelumnya gagal. Sebelum terjadinya penggusuran pada Kamis (9/5), sebenarnya warga Tambakrejo telah mencoba memberi pengertian kepada pihak proyek Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana, bahwa mereka bersedia pindah asalkan hunian yang telah disepakati dan dijanjikan layak untuk ditempati warga. Di samping itu, warga meminta agar pemindahan tersebut dilakukan setelah selesainya proyek Kalibanger, tapi pada kenyataannya proyek tak kunjung selesai sampai hari penggusuran dilakukan. Hingga pada puncaknya, yaitu Kamis (9/5) terjadilah kericuhan pada prosesi penggusuran, antara Satpol PP dengan warga Tambakrejo dan mahasiswa yang menjadi relawan untuk kasus Tambakrejo. Aksi saling dorong tak terhindarkan, beberapa mahasiswa yang mencoba untuk melawan pun tak luput dari serangan Satpol PP.

Kesepakatan dalam Perjanjian
Pada Kamis (13/12) tahun 2018 lalu, Rohmadi mengaku telah melakukan mediasi dengan Pemkot. Dimana warga Tambakrejo sebagai pihak pertama, Pemkot Semarang dan BBWS-Pemali Juana sebagai pihak kedua, serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai mediator. Dikutip dari laman Instagram Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, pada perjanjian ini terdapat sepuluh poin kesepakatan yang telah ditandatangani oleh masing-masing pihak. Salah satu kesepakatannya yaitu, “Warga Tambakrejo bersedia untuk pindah ke lahan sementara di depan Tambakrejo setelah dilakukan pengurukan dan pemadatan”. Namun kenyataannya, hingga hari dilaksanakannya penggusuran paksa secara sepihak terhadap warga Tambakrejo, proyek tersebut belum selesai. Dilansir pula dari Villagerpost.com, dari LBH Semarang menegaskan bahwa upaya penggusuran itu melawan hukum dan melangggar perjanjian yang telah disepakati bersama.

Kondisi Pasca Penggusuran

Sebagian besar warga memanfaatkan Jembatan Layang sebagai tempat beristirahat. Dok. Alfandy

Sebanyak kurang lebih 97 Kartu Keluarga (KK) masih bertahan di wilayah penggusuran Tambakrejo, dan menunggu adanya kepastian dari pemerintah. Saat ini warga tinggal dan beristirahat dengan fasilitas seadanya. Mereka hanya beralaskan terpal dan menggunakan tenda-tenda darurat yang didirikan oleh para relawan, sebagian beristirahat di sekitar puing-puing bangunan yang kondisinya sudah rata dengan tanah dan sebagian lainnya memanfaatkan “kolong” dibawah jembatan layang sebagai tempat untuk beristirahat. Deretan rumah warga yang awalnya diterangi lampu, kini pun sangat minim penerangan, mereka hanya mengandalkan energi mesin diesel dan itu pun masih terbatas. Selain hilangnya tempat tinggal, menurut keterangan salah satu warga, dampak lain yang dirasakan warga yaitu beberapa dari mereka mengalami luka-luka dan kondisi trauma secara psikis akibat penggusuran. Hal ini terjadi terutama pada anak-anak.

Kondisi ketika malam hari di lokasi kejadian jauh dari kata nyaman. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, mulai dari tempat peristirahatan warga yang masih di tempat terbuka, belum meratanya pembagian tenda darurat, minimnya penerangan, banyaknya nyamuk, serta tempat tinggal mereka dekat dengan laut yang notabene menjadikan keadaan lembab. Ditambah lagi, pada malam pertama pasca penggusuran, Tambakrejo diguyur hujan lebat.

Sungguh miris kehidupan warga Tambakrejo, ibarat kata menggarami air laut yang tak ada habisnya, perjuangan guna menuntut hak mereka tidak membuahkan hasil yang memberikan keadilan. Meskipun begitu, Rozikin mengaku salut atas segala upaya yang dilakukan warga hingga saat ini. Rozikin juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh relawan, serta mahasiswa yang sampai saat ini terus mengawal kasus penggusuran.

Ketika ditanya tentang bagaimana langkah setelahnya, Rohmadi mengatakan bahwa dari LBH Semarang akan mendatangkan Komnas HAM pada Hari Kamis (16/5) mendatang. “Ya terpaksa kondisinya seperti ini dulu, karena kami yakin pasti ada jalan keluar yang lebih baik. Kami akan membicarakan tentang hak kami kepada teman-teman dari mahasiswa, atau bahkan jika tidak ada tindak lanjutnya, kami akan turun ke jalan untuk meminta pertanggungjawaban dari pemerintah,” pungkasnya.

Sampai dengan dilakukannya peliputan pada Jumat sore (10/5), pihak Pemkot belum mendatangi lokasi kejadian penggusuran. Namun Hendrar Prihadi selaku Wali Kota Semarang memberikan statement di akun twitter pribadinya pada Jumat (10/5), Mohon jangan percaya info dengan data “katanya”. Tambakrejo sudah sesuai prosedur, bahkan hak pendidikan dari anak korban dan tempat tinggal pengganti sudah dipersiapkan. Meskipun mereka tinggal di bantaran sungai, tetapi tetap kita ayomi.” #Tambakrejo. Dimana statement tersebut bertolak belakang dengan keadaan di lokasi kejadian.

(Desy, Wahyu)

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *