Buta Landasan Demokrasi (Bagian 1)

Fadli Irawan Marjan

(Deputi Kementerian Sosial dan Politik BEM KBM Polines 2014/2015)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi secara umum dapat diartikan (bentuk atau sistem) pemerintahan rakyat; gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua. Sedangkan landasan dalam suatu kebijakan sistem kerja dapat diartikan dasar atau tumpuan. Dan buta dapat diartikan tidak tahu (mengerti) sedikit pun tentang sesuatu atau menjadi sombong karena beroleh kekayaan (pangkat dsb) yang mengakibatkannya sewenang-wenang.

 

Sejenak mari kita lihat apa yang terjadi dengan para kepanitiaan Pemira 2015 (KPR, P3, dan PPS) yang ada di kampus kita sekarang ini. Sebagai sebuah lembaga yang memiliki landasan kinerja yang dilaksanakan dengan berbagai aturan demokrasi dan tuntutan baru yang disesuaikan dengan kode etik, tentu akan muncul beragam pertanyaan tentang kinerja Panitia Pemira tahun ini yang sering mengatakan bahwa segala sesuatunya sudah dilakukan dan dirancang secara sistematis.

 

Dalam pelaksanaannya sendiri, karakter kepemimpinan dari Panitia Pemira 2015 saat ini memang masih banyak menjadi polemik yang dipertanyakan oleh mahasiswa, ormawa, dan bahkan dari para kandidatnya sendiri, baik dari calon legislatif maupun eksekutif. Tercatat ada beberapa polemik atau masalah yang sempat atau bahkan masih terjadi terkait dengan berbagai aturan baru maupun dari cara penerapan sistem oleh Panitia Pemira.

 

Yang pertama adalah mengenai kesekretariatan. Bukan rahasia umum lagi bahwa Panitia Pemira tahun ini tidak memiliki tempat yang dirasa cukup layak untuk dapat melaksanakan kegiatannya. Maka tidak salah kalau muncul praduga mengenai cara dari Panitia Pemira untuk menjaga integritas dari kepanitiaan sendiri sekaligus kerahasiaan para calon. Ketiadaan tempat yang layak ini rawan memicu dugaan adanya intrik ataupun konspirasi.

 

Masalah yang lebih rawan datang dari sistem yang diterapkan dalam Pemira 2015. Masalah ini berakar dari Sidang Juklak-Juknis KPR 2015 pada tanggal 22 Desember 2014 di RSG. Sidang tersebut sendiri menghasilkan Ketetapan Komisi Pemilihan Raya POLINES 2015 No :001-002-003/TAP/KPR 2015. Pertanyaan selanjutnya adalah kesepakatan dengan siapa aturan ini diambil atau dibuat? KBM Polines yang mana? Ormawa yang mana? Mahasiswa yang mana? Pertanyaan itu timbul karena yang hanya segelintir orang yang datang, itupun kebanyakan berasai dari kepanitian. Akibatnya, peraturan tersebut mengorbannya para calon yang kesannya hanya untuk mementingkan acara sendiri agar terlihat ramai.

 

Masih mengenai sistem adalah ketidaksesuaian dengan tempat dan audiens yang bisa dibilang jauh dari yang namanya pesta demokrasi. Acara mana yang audiens-nya kebanyakan dari panitia sendiri sehingga dengan mudah bisa ikut mengambil dan mengatur keputusan? Sayangnya, hal itu bisa dilihat dalam Pemira tahun ini. Selain sidang yang sudah dibahas di atas, hal serupa juga terjadi di debat aktivis, maupun yang sudah berlangsung saat ini yaitu kampanye yang tidak sesuai dengan penempatan jurusannya. Contohnya adalah kampanye Jurusan Elektro yang ternyata diselenggarakan di Kantin Jurusan Mesin.

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *