Yellow Journalism: Berkawan dengan Pasaran Berita Tak Beretika

Sumber: pixabay.com

Pernahkah Sahabat Dims mendengar istilah Koran Kuning atau Yellow Journalism? Apa yang Sahabat Dims lakukan jika menjumpai jenis berita tersebut? Sebutan tersebut berkembang setelah penyebutan Koran Kuning dalam penyebaran berita media cetak menjadi santer jauh sebelum ditemukannya media teknologi yang lebih canggih. Kebebasan dalam hal menyampaikan informasi tersebut mengantarkan dunia jurnalisme ke dalam perspektif lampu kuning–tak mengindahkan keredaksian bahkan kode etik jurnalistik. 

Pada awalnya, pemberitaan yang menarik menjadi faktor utama pemicu ajang berbagai media untuk menyuguhkan berita kepada pembaca. Akan tetapi, kencangnya arus bacaan dan hausnya pembaca akan informasi yang bersifat tak etis membelokkan peran media yang sebenarnya. Tak lagi berlayar sebagai penyumbang informasi, media kini dinahkodai dengan perilaku yang terlalu bisnis.

Lalu, apa tak boleh media meraup laba? Jika tak mengantongi keuntungan, maka bagaimana bisa berjalan? Bagaimana bisa laku terjual jika hambar-hambar saja?

Maka, jelas hasil yang didapat dari fenomena Yellow Journalism menunjukkan bahwa artikel-artikel koran kuning cenderung mengandalkan perasaan pembacanya. Tak perlu menelisik isinya, coba saja baca tajuk berita dari beberapa media seperti Lampu Merah, Meteor, Merapi yang berkiblat ke arah koran kuning terkemuka di zaman Orde Baru (Orba) yakni Pos Kota. Bahkan dalam praktiknya, Pos Kota mengangkat kasus “bayi ajaib” yang bisa berbicara dalam perut Cut Zahara Fona meski setelahnya diketahui bahwa “bayi ajaib” itu hanyalah rekayasa.

Disebutkan dalam Emery dan Emery (Conboy, 2003: 53) bahwa jurnalisme kuning sebagai jurnalisme tanpa jiwa. “Yellow journalism, it worst, was the new journalism without a soul…”. Makna dalam kutipan tersebut sesungguhnya menerangkan adanya kontradiksi dalam konotasi jurnalisme tanpa jiwa. Jurnalisme adalah kegiatan peliputan, meliputi proses dan pemahaman. Namun, apa jadinya bila kegiatan menghimpun bahan artikel justru dipanen dengan pemahaman yang tanpa jiwa dan nirempati? 

Ya, umpan klik yang kita lihat selama ini merupakan hasil dari proses peliputan yang tidak wajar. Sekali lagi, Emery dan Emery (Conboy, 2003: 53) menyebutnya sebagai bentuk jurnalisme yang beropera. “The turned the high drama a life into a cheaf melodrama. Instead of giving affective leadership, yellow journalism offered a palliative of sin, sex, and violence.” Peliputan jurnalisme kuning mencampur adukkan penawar rasa penasaran pembaca, berita, dan fakta yang dipoles oleh sensasionalitas terkait kriminalitas, seksualitas, dan kekerasan. Nilai berita yang mendasar seperti significance, prominence, dan magnitude, cenderung diabaikan karena jurnalisme kuning menonjolkan sensasionalime daripada berita (fakta) itu sendiri. (Yusuf, IA. “Koran Kuning, Jurnalisme atau Bukan?”. https://bincangmedia.wordpress.com/2010/05/01/koran-kuning-jurnalisme-atau-bukan/. Diakses pada Rabu, 18 September 2024 pukul 17.22 WIB)

Terobosan tersebut nyatanya ampuh membersamai beberapa situs-situs berita yang kian tak mengindahkan adab kejurnalistikan. Tidak adanya sensor dalam foto kecelakaan, judul yang terlalu vulgar, hingga bahkan pemalsuan bahan wawancara yang diiringi dengan peliputan artikel yang semena-mena menjadikan fenomena ini sebagai jurnalisme yang rancu. “Jurnalisme” selamanya berkenaan dengan kepentingan publik, sedangkan “jurnalistik” merupakan keseluruhan dari aktivitas mencari, mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan menyebarkan berita yang lazim dilakukan oleh wartawan. Dengan demikian, menurut Ashadi Siregar dalam diskusi publik bertajuk “Menyingkap Profesionalisme Kinerja Surat Kabar” di Yogyakarta, pada 25 Februari 2006, menyebutkan bahwa tidak semua produk jurnalistik merupakan hasil kerja jurnalisme karena fakta dalam jurnalisme selalu berhubungan dengan fakta publik.

Meskipun begitu, penggagas Pos Kota, Harmoko merupakan bekas Ketua Persatuan Wartawan di tahun 1980 dan selanjutnya memegang kursi sebagai Menteri Penerangan selama tiga periode. Lewat penuturannya, Pos Kota menjadi salah satu rujukan penelitian beberapa ahli ilmu sosial. “Itulah sebabnya, kalangan ahli dan peneliti ilmu-ilmu sosial di luar negeri menjadikan Pos Kota sebagai salah satu rujukan dalam penelitiannya (untuk memotret kehidupan masyarakat bawah di Ibukota, penulis). Misalnya Pusat Studi Indonesia di University British Columbia (Kanada) dan Universitas Cornell (AS),” tulis Harmoko saat menyambut hari lahir Pos Kota ke 46, 14 April 2016.

Kontra yang ditimbulkan dari Yellow Journalism tak selamanya didukung penuh. Hal yang sangat menarik dalam dua paragraf sebelum ini adalah adanya perbedaan pandangan mengenai jurnalisme dalam kacamata jurnalis itu sendiri. Sehingga, terciptanya tren koran kuning di zaman ini menjadi lazim merupakan buah dari pelaku aktivitas jurnalistik. Maka, bertumpu pada Undang-undang No. 40 Tahun 1999, kebebasan pers merupakan hal yang wajib diperjuangkan dengan mendedikasikan nya sebagai kontrol sosial yang bertanggung jawab.

(Fadhilah)

Sumber referensi:

Yusuf, IA. 2010. Koran Kuning, Jurnalisme atau Bukan?

Conboy, Martin. 2003. The Press and Popular Culture. London: The Sage Publications Ltd.

ngopijakarta.com

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *