Film Yuni: Antara Mimpi dan Budaya Patriarki

Judul : Yuni
Produser : Kamila Andini, Ahmad Aditya, Fiaz Servia, Ifa Isfansyah, Fran Borgia, Philippe Gompel, Birgit Kemner, Chand Parwez Servia, Agustiya Herdwiyanto
Penulis : Kamila Andini, Prima Rusdi
Pemeran : Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya
Produksi : Fourcolours Films, Akanga Film Asia, Manny Films
Tanggal rilis : 12 September 2021 (Kanada), 9 Desember 2021 (Indonesia)
Durasi : 95 Menit (Worldwide), 122 Menit (Indonesia)

Film Yuni telah dirilis secara teatrikal di seluruh bioskop Indonesia pada (9/12) lalu. Sebelumnya, film karya Kamila Andini ini telah ditayangkan lebih dulu di Kanada pada ajang Toronto International Festival Film (TIFF) 2021 pada (12/9) lalu. Dalam ajang tersebut film ini meraih penghargaan Platform Prize di TIFF 2021 dan menjadi perwakilan Indonesia pada ajang penghargaan bergengsi Oscar 2022.

Yuni adalah film bergenre coming-of-age yang mengangkat isu keperempuanan dan sistem sosial patriarki yang terjadi di Indonesia terutama pada daerah dengan lingkungan konservatif. Berlatar tempat di Serang, Banten, film “Yuni” disajikan dengan bahasa daerah Jawa-Serang (Jaseng) sepanjang filmnya. Isu utama yang diangkat oleh Kamila Andini dalam film ini adalah pembahasan mengenai pernikahan dini.

Tokoh Yuni (Arawindah Kirana) sebagai karakter utama merupakan seorang gadis remaja yang pintar dan memiliki harapan besar untuk melanjutkan pendidikan. Di usianya yang masih belia, Yuni didesak untuk membuat keputusan besar dalam hidunya. Ia sangat ingin melanjutkan pendidikan, tetapi diusia 16 tahun Yuni sudah mendapati lamaran pertamanya. Masih berlanjut, setelah menolak satu lamaran, Yuni kembali dilamar oleh lelaki lain. Hal itu membuat Yuni dihantui oleh sebuah pamali, jika seorang perempuan menolak lamaran lebih dari dua kali, maka ia tidak akan pernah menikah seumur hidupnya.

Film ini dengan berani menggambarkan kepercayaan patriarki bahwa perempuan tidak seharusnya bermimpi macam-macam karena kodratnya berada di dapur, lebih baik segera menikah, dan masih banyak lagi. Familiar, bukan? saat menonton rentetan peristiwa yang tersaji, penonton akan dibuat seperti menonton rekaman kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan apa yang dialami Yuni dan teman-temannya adalah kenyataan yang masih terjadi di Indonesia.

Film ini juga mengangkat penggalan-penggalan puisi Sapardi Djoko Damono dari buku “Hujan Bulan Juni” sebagai elemen penting dalam cerita, bukan hanya sebagai pemanis belaka. Tak heran, Prima Rusdi sebagai penulisnya sudah berpengalaman mengangkat puisi sastrawan Indonesia ke dalam karya hits-nya “Ada Apa Dengan Cinta?”.

Menariknya, cerita dalam film ini disampaikan dengan sangat gamblang, sehingga terlihat realistis dan terkesan seperti film dokumenter. Isu perempuan dan patriarki pun disajikan dengan sangat netral tanpa ada judgmental apakah hal tersebut benar atau salah. Film Yuni membiarkan penontonnya untuk menilai sendiri realita yang terjadi. Sayangnya, pada film ini tidak ada perkenalan awal mengenai tokoh-tokoh lain disekitar Yuni, sehingga kemunculan karakter tokoh terkesan tiba-tiba. Padahal, semua tokoh pendukung dalam film ini memiliki karakter yang kuat dan membuat film menjadi berwarna.

Terlepas dari kekurangannya, dari film Yuni kita belajar untuk berani mengambil keputusan atas diri kita sendiri. Film ini juga mengajarkan kita untuk lebih berani dalam mencari jati diri. Sebagai rekomendasi, film ini cocok untuk kalangan dewasa terutama kamu yang menyukai genre coming-of-age dan peduli dengan isu perempuan. Selain itu, film ini juga memang layak untuk kamu tonton karena kualitas produksinya yang sekelas film internasional.

Silvi (Kru Magang)

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai