RDP RUU Pengawasan, Tuai Perdebatan Terkait SK BPM

Berlangsungnya RDP terkait RUU pengawasan kinerja Ormawa
Dok.Pribadi

Polines, Dimensi (20/12) – Pada Kamis-Jumat (16-17/12) kemarin, Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Politeknik Negeri Semarang (Polines) mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama seluruh organisasi mahasiswa (ormawa). RDP tersebut membahas mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan yang berfokus pada kinerja dan dana ormawa. Namun, terdapat pasal yang menyebutkan adanya Surat Keputusan (SK) yang akan dikeluarkan oleh BPM apabila pengawasan tidak bisa diselesaikan dengan Undang-undang (UU), menimbulkan perdebatan dalam RDP tersebut.

Hal tersebut merujuk pada pasal 5 ayat 4 yang berbunyi : ‘Jika proses pengawasan BEM, LPM, HMJ, dan UKM tidak dapat terselesaikan oleh RUU Pengawasan ini, maka akan diselesaikan melalui Surat Keputusan BPM KBM Polines’ yang sempat menuai perdebatan. Lebih lanjut, Hegi Ainul selaku Ketua BPM KBM Polines periode 2021/2022 menjelaskan jika pengawasan tidak dapat diselesaikan dengan UU tersebut nantinya akan dibahas oleh internal BPM dan hasilnya akan dikeluarkan melalui SK BPM KBM Polines yang diketahui oleh ormawa. “Alurnya dimulai dari mekanisme internal BPM setelah itu hasilnya akan dikeluarkan melalui SK BPM KBM Polines yang diketahui oleh ormawa,” terangnya. 

Terkait dengan ayat tersebut, Fredy Catur selaku Presiden Mahasiswa (Presma) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KBM Polines periode 2021/2022  turut mempertanyakan keraguan BPM. “Kenapa jika ada masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh UU ini harus dengan SK BPM, apakah BPM ragu dengan RUU ini?” ucapnya. Merespons hal itu, Muhammad Adam Pratama selaku Ketua Badan Legislatif (Baleg) BPM KBM Polines periode 2021/2022, merincikan bahwa untuk keberlangsungan ayat tersebut lebih fleksibel mengikuti perkembangan zaman. “Untuk keberlangsungan ayat ini lebih ke fleksibelitas terkait perkembangan zaman,” tambah Adam.

Namun, Fredy menganggap fleksibelitas ayat tersebut menjadikan UU ini tidak baku sehingga seperti pasal karet. “Hukum itu seharusnya baku dan mengikat, kalau fleksibel nanti menjadi pasal karet,” ujarnya. Tak ketinggalan, Rafie Yogandaru yang juga anggota Baleg menambahkan bahwa ayat tersebut bukan pasal karet karena tidak mengandung multitafsir dalam keredaksian, melainkan sebagai opsi untuk memperkuat hukum ketika terjadi kekosongan hukum. “Pasal karet terjadi apabila ada keredaksian yang multitafsir, tetapi pada ayat ini lebih ke opsi untuk memperkuat hukum apabila terjadi kekosongan hukum,” ujar Rafie.

Terlepas dari itu, Hegi menegaskan bahwa UU ini bukan sebagai bentuk pengekangan yang dilakukan BPM kepada ormawa, melainkan memperjelas dan memaksimalkan mekanisme dari pengawasan kinerja dan penggunaan dana di KBM Polines. “Harus diubah pemikirannya bahwa UU ini bukan sebagai bentuk pengekangan yang dilakukan BPM, kami hanya ingin memperjelas mekanisme pengawasan secara maksimal,” jelasnya. Ia juga berharap jika UU tersebut sudah disahkan, pengawasan di KBM Polines dapat lebih jelas, tertata, serta tidak ada beda pemahaman dalam komunikasi antar ormawa. “Harapan saya jika sudah di sahkan, sistem pengawasan di KBM Polines lebih jelas, tertata, dan tidak ada kesalahan komunikasi antar ormawa,” pungkasnya.

(Annisa Nur)

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai