Kopi
Oleh : Danganan Ghaluh
“Sudah gelas ke berapa ini, Kak?” sapanya sembari duduk di depanku memasang tampang cemberut.
“Gelas pertama. Sekaligus gelas ke sekian kalinya yang kulupakan.”
“Ah, jawabanmu selalu membingungkan, Kak. Kenapa tidak langsung terus terang saja?”
“Aku sudah mencobanya.”
“Kapan? Dari dulu jawabanmu selalu seperti itu tahu, menyebalkan!”
“Karena mungkin aku juga menyebalkan bagimu,” jawabku lirih diantara sesapan kopi.
Dia terdiam mendengar responku barusan. Tatapannya yang nanar perlahan mencoba menerobos sekat-sekat di antara kami. Aku tau itu, karena jelas bisa ku baca rasa gelisah darinya.
“Kamu tahu hal yang paling menyebalkan darimu, Kak? Dalam hidup yang sudah keterlaluan menyebalkan ini, aku selalu dihantui kekhawatiran yang berlebihan atas sikap protesmu. Yang nyatanya, semakin ku tolak kebenaran dari penjelasanmu malah semakin membuatku berpikir bahwa kamu tidak salah. Tapi kamu kelewat menyebalkan untuk sebuah kebenaran. Apa iya kamu harus mengesampingkan kebaikanmu sendiri untuk sebuah kebenaran?”
“Kebaikanku?” tanyaku polos menjawab pertanyaan darinya.
“Iya, kamu itu masih manusia, Kak. Badanmu juga harus dijaga kesehatannya. Lihatlah badanmu sekarang, habis seperti mayat berjalan! Memang benar semua hal di bumi ini akan menjadi obat atau racun tergantung dosisnya, tapi kenapa kamu selalu berlebihan menanggapi ini?”
“Kopi ini maksudmu?”
“Ya ini, terserah kamu mau menganggap ini apa. Karena aku tahu kamu akan selalu mengelak dari apa yang kusebut. Sejak dulu aku selalu khawatir dengan segala kebendaan di sekitarmu, mulai dari alkohol, puisi, rokok, wanita, hujan hingga kopi ini. Bahkan yang tidak berwujud saja selalu kamu bantah. Ya, semuanya! Sepi, pencapaian, penindasan, keyakinan, juga Tuhan. Apa kamu tidak lelah seperti ini terus?”
“Kamu sudah tahu pasti jawabannya, kan?” ujarku membela diri disela nafasnya.
“Baiklah. Aku tidak akan memaksamu lagi menjelaskan ini semua,” balasnya dengan gestur menyerah kalah. Dia membuang tatapannya ke jendela yang memantulkan raut kelelahan dari wajah manisnya.
“Maaf,” ucapku singkat mencoba mencari perhatiannya lagi.
“Entah aku sudah mengatakannya atau belum, yang jelas sekarang aku hanya ingin mengatakan jika aku tahu cara untuk mati, aku tak akan pernah mati,” lanjutku mengisi keheningan diantara kami.
Dia tetap terpaku melihat keadaan di luar hingga entah dia sendiri menyadari atau tidak, aku mulai melihat sekumpulan air di ujung matanya. Dan ketika hujan di luar mulai beralih membasahi wajah cantiknya yang tidak bisa ku pungkiri selalu hadir dalam perenunganku, dia perlahan menatapku penuh tanda tanya.
“Kamu tahu kan untuk apa aku ke sini hari ini? Kamu juga tahu kan aku selalu gagal memahami racikan katamu? Dari sekian hal di dunia ini kenapa kamu malah memilih membicarakan kematian?” protesnya mendengar usahaku membunuh sepi yang menyergap pertemuan kami malam ini.
“Aku hanya mencoba jujur padamu.”
“Sudah kuduga, kamu akan mengatakan itu. Kamu tahu? Tiap malam aku selalu menimang kemungkinan untuk menemuimu lagi atau tidak. Dan semalam aku menyerah untuk memilih menemuimu lagi meski rasa takut terjebak kecanggungan seperti ini menghantuiku. Aku hanya ingin tertawa lepas denganmu lagi seperti dulu, sebelum aku memilih untuk benar-benar menghilang dari bayang-bayang kehidupanmu,” katanya dengan tatapan yang membuatku luluh.
“Maaf membuatmu menyesal,” sesalku sembari mengusap air mata yang tak terasa mulai membasahi pipinya.
“Aku hanya ingin memastikan untuk terakhir kalinya kamu baik-baik saja. Dan jika memang kamu memilih seperti ini, setidaknya buktikan padaku untuk tidak terlalu mudah digoda kematian. Kamu masih punya masa depan, Kak. Pilihlah wanita yang lebih baik dariku dan nikahilah. Atau jika memang kabar bahwa kamu ingin menikah dengan peri itu benar, cobalah untuk tidak gegabah meninggalkan dunia ini terlalu cepat. Karena jujur aku terkadang sangat ingin kelak mempunyai anak yang mewarisi pandangan-pandanganmu tentang dunia ini,” balasnya yang membuat lidahku kelu untuk menanggapinya.
“Dan maaf jika memang akulah penyebab kamu menjadi seperti ini,” lanjutnya dengan menahan emosi yang tertahan selama ini.
“Sudahlah, ini bukan lebaran yang identik dengan maaf-maafan. Lagipula jika seperti ini terus, orang-orang di cafe ini akan mellow seperti roman remaja hehe,” ujarku berusaha mencairkan suasana.
Dia terpaksa tersenyum, meski pahit. Sangat aneh memang pertemuan se-sensitif ini di tempat umum. Dia meneguk kopinya yang mulai berontak meminta perhatian sebab terlalu lama diserang hujan hingga terasa dingin.
“Sejak kapan kamu suka kopi?” tanyaku menyela kenikmatannya saat menyesap kopi hitam yang tak diaduk.
“Kamu ini manusia yang sangat menyebalkan ya! Kenapa mudah sekali merubah suasana? Aku jadi tidak fokus mencari kenikmatan kopi sesuai omonganmu tau!” jawabnya sambil membersihkan noda akibat kopi yang tumpah karena kaget.
“Haha, kamu penasaran ya ternyata?”
“Enggak!” bentaknya dengan wajah bersemu merah karena malu.
“Kamu hanya perlu mencari dirimu sendiri, sebab yang bisa mengaduk rasa kopi itu ya dirimu sendiri.”
“Kukira pengaduk kopimu itu aku,” balasnya menggodaku.
“Dulu iya, tapi sekarang aku sadar kamu yang dulu bukanlah aku yang kucari, melainkan aku yang kupaksaan dalam dirimu.”
“Kamu tahu? Itu berhasil membingungkanku lagi,” ucapnya kesal sembari langsung menghabiskan kopinya.
“Di luar sudah terang, aku harus segera pergi. Salam buat keluargamu, Kak,” pamitnya setelah menghabiskan kopinya dan meninggalkan sebuah undangan pernikahan untukku.
“Ini untukku? Kenapa tak ada namanya?” teriakku sebelum dia beranjak terlalu jauh.
“Karena yang itu spesial,” jawabnya dengan senyum termanis yang pernah kulihat.
Aku terdiam melihatnya pergi menjauh hingga setitik bayangannya tak terlihat lagi. Aku memilih bergelut dengan rasa penasaran akan ‘spesial’nya undangan ini. Kubuka undangan itu dan mulai membacanya perlahan. Di dalamnya kutemukan sepucuk surat yang tertulis :
‘Berbahagialah, seperti kamu terbiasa bersedih’
Bagus. Seru. Dan bikin penasaran meski pun ceritanya pendek menurutku. Sukakkk
Sila mampir ke https://my.w.tt/Lkiy0KYIzQ jika tertarik mengetahui kelanjutan cerita ini. Dan jika penasaran kenapa namanya berbeda, jangan sungkan untuk mengirimi pesan. Atau cukup percaya bahwa kami berbagi raga.