MEMBUMIKAN WAYANG MELALUI MUSEUM

Seorang dalang memainkan wayang diiringi dengan musik karawitan dalam pagelaran wayang kulit di Museum Ranggawarsita Semarang pada Sabtu (8/7)

Semarang, DIMENSI  (12/7) –  “Museum yang paling tidak dihargai itu museum di negara susah. Tiket masuk museum hanya sebesar 4000 dan sepi sekali. Saya ke Amerika untuk masuk ke museum pun harus antre walau sekedar untuk melihat patung. “ Kata-kata tersebut dilontarkan oleh budayawan Prie GS dalam sambutannya pada temu mitra museum di Museum Jawa Tengah Ranggawarsita Sabtu (8/7) lalu.

Memang ironis sekali, museum yang seharusnya menjadi tempat merawat dan mengenal produk-produk sejarah,  kini sepi pengunjung. Dalam sambutannya, Prie GS juga mengutarakan tentang kunjungannya ke Museum Ranggawarsita. “Terakhir saya kesini dengan istri saya sepi sekali,” pungkasnya.

Padahal sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015, museum bertugas mengumpulkan dan mengkomunikasikan koleksinya ke masyarakat. Jangankan mengkomunikasikannya kepada masyarakat, minat masyarakat untuk berkunjung pun tergolong rendah.

Pada ulang tahunnya yang ke 28, Museum Ranggawarsita berusaha kembali membuat  rangkaian acara kebudayaan yang menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke museum. Melalui acara rembug gayeng bareng omah wayang, Museum Ranggawarsita kembali memperkenalkan koleksi wayangnya kepada masyarakat, yakni wayang warta. Cerita wayang warta diambil dari alkitab injil pada perjanjian lama dan perjanjian baru, kemudian terus berkembang. Menurut Krystiadi selaku dalang, wayang warta telah ada sejak tahun 1975 dan pada tahun 1985 digunakan untuk  penyebaran agama kristen dalam perkabaran kitab injil di lereng merapi.

Setelah mengenalkan wayang warta, pihak Museum Ranggawarsita juga menyelenggarakan kegiatan melukis wayang  dengan cat warna . Meskipun acara dibuka untuk umum, banyak anak-anak sekaligus orang tua yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Tangan kiri memegang tubuh wayang, sedangkan tangan kanan memegang kuas lalu mengambil cat warna yang telah disediakan. Kemudian mewarnai tubuh wayang dengan hati-hati dan berusaha mewarnai sebaik-baiknya. Coretan warna-warni berpadu dalam satu tubuh wayang. Beberapa orang tua juga terlihat mengajari anaknya untuk melukis wayang. Bagi Azra dan Kiki, kakak beradik yang mengikuti acara tersebut bersama orang tuanya pun mengaku sangat senang dapat melukis wayang. “Saya senang bisa gambar wayang dengan cat warna,” ungkap Azra dengan gembira.

Begitu juga Anita Solikhah, mitra museum dari komunitas bala museum juga menunjukkan antusiasnya dalam mengikuti acara ini.  “Saya sangat senang sekali mengikuti rangkaian acara ini. Antusiasme mahasiswa dan anak-anak juga tinggi. Apalagi, anak-anak senang sekali ketika kegiatan melukis wayang,” katanya.

Tak hanya sebatas mengenalkan wayang warta dan melukisnya, pihak museum juga mengadakan pementasan wayang yang bertujuan untuk melestarikan produk sejarah dan meningkatkan persatuan bangsa. Di akhir perbincangannya dengan kami, Krystiadi kembali berpesan agar seluruh mayarakat terus mencintai produk – produk Indonesia demi menjaga kebhinekaan dalam bermasyarakat.

Pengenalan produk sejarah melalui museum pun memang perlu dilakukan. Museum memberikan nilai dan perhatian serta gambaran kehidupan generasi pendahulu. Selain itu, pendekatan warisan budaya melalui museum dapat  menjadikan generasi yang toleran dengan tidak mengkerdilkan akar budaya bangsanya.

[Richa]

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *