Dibalik Kemunduran Gus Dur: Politik, Ideologi, dan Kepemimpinan yang Melampaui Zaman

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dikenal sebagai sosok ulama sekaligus intelektual progresif yang menandai era baru politik pasca-Orde Baru. Ia menjabat sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia (1999–2001), tetapi masa pemerintahannya berakhir lebih cepat setelah Sidang Istimewa MPR 2001 yang mencabut mandatnya. Di balik kejatuhannya, terdapat tiga faktor utama yang saling terkait: konflik politik, benturan ideologi, dan gaya kepemimpinan.
1. Konflik Politik: Poros Tengah dan Sisa Orde Baru
Gus Dur naik ke kursi presiden berkat dukungan Poros Tengah, koalisi partai-partai Islam seperti PKB dan PAN. Namun, hubungan ini retak ketika ia mulai melakukan langkah berani dengan membuka kasus korupsi Soeharto, serta menjalin rekonsiliasi politik dengan PDIP yang dipimpin Megawati. Langkah-langkah ini dianggap menyimpang dari arah koalisi.
Selain itu, kebijakan untuk mencabut Tap MPRS XXV/1996 dan mereformasi militer memicu kemarahan kelompok Orde Baru dan kalangan militer. Hal ini dijelaskan oleh Abdur Rozaki (2009), kedua kekuatan ini kemudian bersekutu dalam membangun opini publik untuk menjatuhkannya.
2. Benturan Ideologi: Pancasila Inklusif vs Politik Syariat
Gus Dur yang merupakan pluralis sejati, konsisten mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara inklusif. Ia menolak formalisasi syariat Islam dan menegaskan kesetaraan warga negara tanpa memandang agama. Salah satu penolakan yang mencolok adalah terkait dibentuknya Piagam Jakarta yang menimbulkan tuduhan bahwa ia mengabaikan aspirasi umat Islam. Hal ini mempengaruhi pandangan oposisi terhadap Gus Dur.
Menurut Ahmad Suaedy (2015), sikap pluralis ini justru membuatnya kehilangan dukungan kelompok konservatif. Para pesaing politiknya kemudian menggunakan isu keagamaan untuk membentuk citra negatif dan melemahkan posisinya.
3. Kepemimpinan Transformatif dan Gaya Komunikasi
Gus Dur yang dikenal sebagai pemimpin yang visioner dan berani menabrak arus, justru gaya kepemimpinannya menjadi salah satu faktor yang mempercepat kemundurannya dari kekuasaan. Hal ini dikarenakan gaya kepemimpinannya dinilai tidak terstruktur.
Salah satu contohnya yaitu keluarnya Dekrit Presiden 23 Juli 2001 yang membekukan DPR/MPR menjadi langkah yang berani, namun berisiko tinggi karena tanpa dukungan militer. Greg Barton (2002) menggambarkannya sebagai “a brilliant but erratic strategist”, sedangkan Didin N. Rosidin (2018) menilai gaya komunikasi politik Gus Dur yang simbolis dan sarkastik membuat ide-idenya sering menimbulkan kesalahpahaman publik.
Selanjutnya, gaya komunikasi Gus Dur yang simbolik dan satire kerap disalah tafsirkan oleh publik. Kebijakan progresifnya seperti pembukaan hubungan dengan Israel atau penghapusan diskriminasi terhadap warga Tionghoa tidak disertai komunikasi politik yang efektif untuk menjelaskan maksudnya kepada publik. Akibatnya, kebijakan progresifnya mudah dipolitisasi dan dimanfaatkan lawan politik untuk merusak citranya.
Kemunduran Gus Dur mencerminkan benturan antara idealisme dan pragmatisme politik. Ia bukan sekadar korban intrik kekuasaan, melainkan tokoh yang berusaha mentransformasikan politik Indonesia menuju ruang yang lebih terbuka, plural, dan berkeadilan. Meski masa pemerintahannya singkat, warisannya tetap hidup sebagai simbol keberanian berpikir dan kemanusiaan tanpa sekat.
(Tim Riset)
Sumber:
https://www.kompasiana.com/hidayahseptia7952/68eb6ad3ed641558d9362202/dibalik-kemunduran-gus-dur-sebuah-analisis-konflik-politik-ideologi-dan-kepemimpinan-transformatif
tangkap mulyono
Mesin memang tidak bisa diatur, namun memiliki aturan tersendiri. PPM masih berjalan lancar tapi berjalan dibalik layar
Mesin memang tidak bisa diatur, namun tetap memiliki aturan tersendiri. PPM tetap berjalan namun dibalik layar
baguss lillll 👌
Font artikel lpm tipis banget, warnanya juga tidak hitam