Merajut Rasa Syukur
Oleh: Ela Elfita
Hari ini, cuaca terasa begitu terik. Matahari pun seolah-olah berada di atas kepala, memberikan panas pada kehidupan di bumi. Proyek bangunan yang masih setengah jadi itu juga tak luput dari pancaran sinar sang mentari. Hal ini, membuat para pekerja sesekali mengeluh dan menyeka peluh.
“Panas banget hari ini,” keluh salah seorang pekerja.
“Iya. Abis ini kita rehat,” timpal yang lain. Para pekerja mulai menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap untuk istirahat sebentar.
“Haidar, sini minum dulu.” Mandor memanggil anak magang yang tengah berkutat dengan adonan semen.
Haidar, mahasiswa jurusan Teknik Sipil yang kini sedang magang di proyek itu menghentikan aktivitasnya. Ia menelan ludah ketika melihat para pekerja sudah bersantai di tempat teduh dan menegak segelas air.
“Astaghfirullah,” lirihnya. Haidar bergegas mencuci tangannya dan bergabung dengan para pekerja.
“Kamu puasa?” tanya mandor. Haidar mengangguk pelan.
“Waduh, maaf ya. Saya kira kamu tidak puasa. Berhubung kamu puasa, nanti sekitar jam 2 kamu boleh pulang terlebih dahulu.”
Diam-diam Haidar senang karena ia bisa pulang lebih awal. Tapi cuaca panas seperti ini membuatnya goyah terlebih melihat pekerja lain menikmati makan siang. Tak ingin berlarut-larut, Haidar memilih pergi ke mushola untuk menunaikan ibadah.
Pekerjaan kembali berlanjut. Haidar kembali menyerok semen, meski tak sesemangat tadi. Tenaganya sudah terkuras habis setengah hari. Belum lagi cuaca panas yang membuatnya banyak berkeringat dan kehausan.
“Apa aku buka puasa aja ya?” gumannya. Timbul niat dalam hati Haidar jika ia akan berbuka puasa setelah selesai pekerjaan. Tidak enak rasanya jika berbuka di tempat kerja, terlebih tadi dia sudah bilang jika dirinya berpuasa.
Satu jam terasa begitu lama bagi Haidar, ia sesekali melepas penat dengan berteduh sebelum kembali menyerok semen. Hingga tak terasa tiba baginya waktu untuk pulang.
“Saya pamit pulang dulu ya pak,” pamit Haidar. Ia berjalan menuju parkiran untuk mengambil motor. Jarak antara proyek dan kosnya cukup jauh. Butuh waktu sekitar 45 menit untuk sampai. Sepanjang perjalanan Haidar berusaha fokus di tengah perutnya yang keroncongan dan tenggorokannya yang kehausan.
Haidar menghentikan motornya ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Cuaca masih saja terasa terik karena baru pukul setengah tiga. Di tengah-tengah kepulan asap kendaraan, seorang kakek tua terlihat menawarkan koran.
“Saya beli ya kek,” ujar salah seorang pengendara mobil di samping Haidar.
“Terima kasih nak, semoga kebaikan selalu menyertaimu.” Sang kakek memberikan korannya. Pengemudi itu menerima dan mengulurkan sebotol minuman.
“Maaf nak, kakek puasa.” Kakek tua itu tersenyum lantas berpindah ke pengemudi lain untuk menjajakan korannya.
Haidar tertegun mendengar percakapan singkat kakek tua tadi dengan pengemudi mobil. Ia merasa malu karena sudah berpikiran ingin cepat-cepat membatalkan puasa. Lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Kakek tua tadi sudah menepi ke pinggir jalan. Haidar pun segera melajukan motornya sebentar lalu memarkirkannya di depan warung. Ia berlari ke tempat dimana kakek tua itu berada.
“Siang kek,” sapa Haidar begitu sampai ke tempat Sang kakek.
“Ada apa nak?” tanya kakek.
“Boleh Haidar bantu jualan koran?” tawar Haidar.
“Tidak usah nak. Panas-panas gini, apalagi lagi puasa,”
“Gak papa kek.” Haidar mengambil sisa koran di tangan Sang Kakek dan mulai membagi-bagikan kepada para pengendara.
Tak terasa setengah jam berlalu, koran itu habis terjual. Waktu pun sudah menunjukkan pukul 3 sore dimana sebentar lagi adzan Ashar berkumandang. Haidar menyerahkan hasil jualan korannya pada Kakek Jaya.
“Terima kasih ya nak sudah membantu kakek.” Kakek Jaya berniat membagikan sedikit rezekinya pada Haidar tapi pemuda itu menolak.
“Saya pamit pulang dulu ya Kek,” pamit Haidar.
Setelah kembali melanjutkan perjalanan, Haidar tiba di kosnya. Ia melepas penat dengan bersantai di kasurnya. Hampir saja matanya terpejam karena kantuk menyerang. Tapi Haidar memaksa agar tetap terjaga, ia belum menunaikan kewajibannya. Meski lelah, Haidar tak boleh lupa pada Sang Pencipta.
Dengan langkah gontai, Haidar mengambil wudhu dan melaksanakan salat 4 raka’at setelah itu duduk termenung di atas sajadah.
“Ya Rabb, maafkan aku karena sempat berpikir untuk membatalkan puasa. Padahal di luar sana ada banyak orang yang masih semangat menjalankan perintah-Mu. Harusnya aku bersyukur karena Engkau masih memberikan kemudahan padaku. Engkau masih memperkenankanku untuk mencari rida-Mu. Kuatkanlah aku Ya Allah,” tutur Haidar. Ia tenggelam dalam kekhusyu’annya hingga tak sengaja tertidur di atas sajadah.
Tok.. Tok.. Tok..
Suara ketukan pintu membangunkan Haidar. Pemuda itu bangkit lantas beristighfar karena baru sadar jika ia ketiduran. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.20 yang berarti sebentar lagi akan buka puasa.
“Assalamualaikum nak Haidar,” suara Ibu Kos membuat Haidar segera berdiri untuk membukakan pintu.
“Waalaikumssalam, ada apa ya, Bu?” balas Haidar.
“Ini ada sedikit rezeki. Dimakan ya.” Ibu Kos mengulurkan bingkisan makanan.
“Terima kasih Bu.” Ibu Kos mengangguk lantas pergi berlalu. “Alhamdulillah,” kata Haidar mengucap syukur. Ia tak menyangka akan ada kejutan setelah ujian yang ia lewati.
Upaya Haidar menahan lapar dan dahaga akhirnya terbayar saat adzan Maghrib berkumandang. Ia berbuka puasa dengan hati yang lapang. Hari ini Haidar mendapat pelajaran bahwa puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga tapi juga menahan diri agar tetap patuh pada perintah-Nya. Puasa mengajarkan kita untuk merasakan bagaimana kehidupan fakir miskin di luar sana. Kehidupan mereka mungkin jauh dari kata berkecukupan, sederhana tapi penuh dengan rasa syukur. Ketika kita melihat ke atas yang kita temui hanyalah rasa iri, tapi ketika kita menunduk ke bawah maka kita akan bersyukur tiada terkira.
Bulan Ramadhan dapat menjadi ajang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kita harus bersemangat dalam menjalani puasa dan memperbaiki diri. Karena sejatinya Ramadhan adalah hadiah dari Allah yang paling indah dimana nikmat dan rahmat Allah menyertai seluruh hamba-Nya.
tangkap mulyono
Mesin memang tidak bisa diatur, namun memiliki aturan tersendiri. PPM masih berjalan lancar tapi berjalan dibalik layar
Mesin memang tidak bisa diatur, namun tetap memiliki aturan tersendiri. PPM tetap berjalan namun dibalik layar
baguss lillll 👌
Font artikel lpm tipis banget, warnanya juga tidak hitam