Yang Tidak Tahan Kritik, Bagusnya Dilenyapkan Saja! (Part 2)

Ilustrator : Novia

Oleh : Aan Afriangga, Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Program Studi Jurnalistik, di Universitas Mpu Tantular

Kemudian dalam ranah kebijakan publik, kasus yang belum lama merebak ke permukaan adalah pencemaran nama baik organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) oleh seorang penabuh drum yang berasal dari band bernama Superman Is Dead (SID)—yakni, I Gede Ari Astina (Jerinx, sapaan akrabnya). Jerinx mengkritisi IDI dan RS tentang kebijakan mensyarakatkan rapid test kepada ibu-ibu yang ingin melahirkan. Kasus tersebut mencapai klimaks pada tanggal (12/8), yang mana Jerinx resmi naik status menjadi tersangka dan dijatuhi hukuman bui kurang lebih 20 hari hingga terancam dipenjarakan selama 6 tahun serta denda sebesar satu milliar karena cuitan di akun Instagram milikinya. Isi cuitan tersebut kurang lebih begini: “Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang melahirkan dites COVID. Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tesnya bikin stres dan menyebabkan kematian pada bayi atau ibunya, siapa yang tanggung jawab?,” ucap Jerinx

Dari cuitan tersebut, Jerinx terjerat beberapa pasal, diantaranya: “Pasal 28 ayat (2), Pasal 45A ayat (2), dan/atau pasal 27 ayat (3), Pasal 45 ayat (3), dan Undang-undang No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).” dilansir oleh Tirto.id

Dua kasus yang mengedepankan UU ITE ini, sudah kesekian kalinya menjerat para tersangkanya. Dengan dalih “atas nama baik”. Pihak yang dikritik cenderung melaporkan si pengkritik karena ucapan dan perbuatannya, ketimbang menerima masukannya dan mendengarkan sejenak, kemudian memperbaiki kualitas kerjanya.

Saya menyoroti dua fenomena tersebut. Bukan karena saya adalah simpatisan mereka atau mendukung apa yang mereka ucapkan dan lakukan. Akan tetapi, pertanyaan yang sempat terbesit dalam benak saya: bagaimana jika saya yang berada di posisi itu? Mudah sekali memenjarakan seseorang di negara yang menganut sistem demokrasi? Bukankah kritik itu seharusnya ditanggapi dengan mengkritik balik yang dalam artian: narasi dibantah dengan narasi? Atau jika si pengkritik keliru, bukankah saat itu pula si pengkritik harus diluruskan dasar pemikirannya? Sehingga, dari proses saling bantah itulah kita menemukan kebenaran yang sesungguhnya, bahkan solusi dari permasalahan yang ada. Ironisnya, mengapa realitasnya berbanding terbalik?

Kritik Sebagai Peringatan

Dari kedua fenomena tersebut, saya sempat berpikir: “Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Tidak mungkin ada yang menggongong kalau ketidakmerataan masih berkeliaran.”

Ungkapan itu mungkin terdengar tajam, apalagi terhadap mereka yang melakukan tindakan serampangan demi kepentingan, namun ketika kebobrokannya tengah dibongkar secepat kilat, mereka akan berusaha menghadangnya bahkan memberangusnya supaya kebobrokannya dapat tertutupi dan cara yang ditempuh ialah meniadakan pihak yang bersebrangan dengannya. Tujuannya kita sudah mengetahui bersama, yaitu supaya nama baiknya tetap terjaga di hadapan publik.

Padahal, jika memang benar terbukti dan bersedia mengakui kesalahannya bahkan berjanjiakan meningkatkan kinerjanya. Saya rasa, hal itu akan lebih terhomat, ketimbang menanggapi sebuah kritikan dengan mengintimidasi atau mengkriminalisasi si pengkritik yang mungkin saja, si pengkritik sedang memperingati pihak yang dikritik supaya meningkatkan kualitas kerjanya agar lebih baik lagi.

Kritik Sebagai Evaluasi

Sebagai point terakhir. Saya akan merefleksikan fenomena ini dengan dua pandangan: kodrat manusia dan kebebasan kita untuk menyukainya atau tidak. Pertama, saya ingin meminjam salah satu istilah yang cukup populer dari seorang filsuf bernama Aristoteles. Istilah yang ia maksud di sini: “Zoon Politicon”. Istilah tersebut menegaskan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup berdampingan dengan manusia lain atau dalam ranah sosiologi kita mengenalnya dengan istilah “makhluk sosial”. Sebagai makhluk sosial, kita mengetahui bersama-sama bahwa pengertian dari istilah tersebut ialah kita tidak bisa hidup sendiri, alias kita akan membutuhkan orang lain.

Kedua, saya menyetujui salah satu pendapat Adam Kirsch, dalam esainya yang dimuat oleh New York Times (2017) yang bertajuk “How To Live With Critics (Wheter You’are an Artist or The President)”. Dalam esainya, ia mengatakan: “…Kritikus hanyalah pembaca atau pemirsa atau pendengar yang membuat pertanyaan eksplisit dan mencoba menjawabnya di depan umum, untuk kepentingan pembaca atau pendengar potensial lainnya. Dengan melakukan itu, dia beroperasi dengan asumsi bahwa penonton sebuah karya, penerima hadiah, berhak untuk menilai nilainya. Alam penghakiman itu jamak. Setiap orang membawa nilai standarnya sendiri ke dalam pekerjaan menilai. Artinya, pada dasarnya demokrasi juga. Tidak ada kanon selera atau otoritas kritis yang dapat memaksa orang untuk meyakini apa yang tidak mereka sukai.”

Maka dari itu, sebagai seorang manusia yang hidup berdampingan. Tentunya, kritik tidak akan lepas dari kehidupan kita: baik saat kita sedang berkontemplasi, bersuka ria, membaca buku-selesai menulis buku, bahkan saat kita sedang bernafas pun, kita tidak bisa memungkiri datangnya sebuah kritikan. Dan hal yang ingin saya tegaskan di sini yaitu mari barang sejenak mendengarkan, dan mari membuka seluas-luasnya gerbang perbedaan pandangan, meskipun dalam sanubari kita merasa gusar sekali. Toh, bukankah kekurangan manusia itu kerap kali tidak menyadari kesalahan yang telah-sedang ia perbuat? Dan sebagai penutup, mungkin kutipan Eyang Pram bisa kita pertimbangkan bersama-sama: “Perkembangan yang ideal akan tercapai melalui demokrasi. Tak ada jalan lain daripada yang memungkinkan setiap manusia untuk menggunakan haknya.” –Pramoedya Ananta Toer, Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (2008).

KEPUSTAKAAN

  • Riyan Setiawan. “Polda Bali Tetapkan Jerinx SID Tersangka dan Ditahan 20 Hari”. 12 Agustus 2020. https://tirto.id/polda-bali-tetapkan-jerinx-sid-tersangka-dan-ditahan-20-hari-fXp4diakses pada tangggal 16 Agustus 2020
  • Alexander Haryanto. “Kronologi Kasus Jerinx dan IDI Soal Corona Hingga Diperiksa Polisi”. 7 Agustus 2020.https://tirto.id/kronologi-kasus-jerinx-dan-idi-soal-corona-hingga-diperiksa-polisi-fWh6diakses pada tanggal 16 Agustus 2020
  • KumparanNews. “Fakta-fakta Jerinx Dipolisikan IDI, Mangkir hingga Minta Maaf”. 5 Agustus 2020. https://kumparan.com/kumparannews/fakta-fakta-jerinx-dipolisikan-idi-mangkir-hingga-minta-maaf-1twHnxh6SGz/full diakses pada tanggal 16 Agustus 2020
  • Miftahul Chusna. “Kisah Jerinx SID yang Akhirnya Tak Kuasa Menolak Rapid Test”. 13 Agustus 2020. https://daerah.sindonews.com/read/132444/174/kisah-jerinx-sid-yang-akhirnya-tak-kuasa-menolak-rapid-test-1597306125 diakses pada tanggal 16 Agustus 2020
  • Arie Dwi Satrio. “Ditetapkan Tersangka, Jerinx SID Terancam 6 Tahun Bui dan Denda Rp 1 Miliar”.12 Agustus 2020. https://news.okezone.com/read/2020/08/12/244/2261103/ditetapkan-tersangka-jerinx-sid-terancam-6-tahun-bui-dan-denda-rp1-miliar diakses pada tanggal 16 Agustus 2020
  • Adam Kirsch. “How to Live With Critics (Wheter You’re an Artist or The President”. 14 Juni 2017. https://www.nytimes.com/2017/06/14/books/review/how-to-live-with-critics.html diakses pada tanggal 16 Agustus 2020
  • Aulia Muthiatul Hasanah. “Zoon Politicon”. 30 Agutus 2017. https://www.kompasiana.com/auliamuthiatulhasanah/59a60f884d669106b84470c2/zoon-politicon diakses pada tanggal 16 Agustus 2020
  • Politik Ideal. “Demokrasi Ideal”. 19 Februari 2020. http://politiktoday.com/2020/02/demokrasi-ideal/ diakses pada tanggal 17 Agustus 2020
Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai