Memerdekakan Diri Sendiri untuk Memerdekakan Indonesia
Polines, DIMENSI (17/8) – “Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita,” kutipan Bung Karno, bapak proklamator Indonesia.
Merdeka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna bebas, berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Kata yang tak asing, karena selalu diteriakkan warga Indonesia setiap 17 Agustus untuk mengenang proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Seolah tak bisa terlepas dari sorak-sorai, berbagai macam peringatan digelar untuk memperingati bertambahnya umur Indonesia. Namun masih timbul dalam benak saya perasaan miris ketika melihat keadaan di sekitar yang katanya pada 17 Agustus ini sudah menginjak usia 72 tahun merdeka. Tentu bukanlah usia yang muda jika diibaratkan usia seorang manusia, mungkin lebih tepatnya usia matang yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun seluruh elemen didalamnya sekaligus menyejahterahkan rakyatnya.
“Apakah sudah benar-benar merdeka?” Merdeka yang dimaksudkan tidak hanya sebatas merdeka fisik tetapi juga lepas dari eksploitasi terselubung dari negara lain. Pertanyaan yang susah-susah mudah untuk dijawab, karena banyak aspek yang harus dicapai agar dapat dikatakan berhasil memerdekakan Indonesia.
Memang baik dahulu maupun sekarang, kemerdekaan bukan hanya menjadi tanggung jawab dari pihak pemerintah saja tetapi juga tanggung jawab dari seluruh rakyat Indonesia. Rakyat harus ikut berperan aktif dalam memerdekakan negara secara utuh. Saat ini memang Indonesia sudah tidak dijajah bangsa manapun secara fisik, namun belum tentu secara mental dan psikologis kita tidak dijajah.
Kemajuan teknologi yang terlalu pesat memberikan dampak negatif bagi negara yang belum dapat mengembangkan teknologi tersebut. Sebagai contohnya, Freeport yang merupakan salah satu kekayaan terbesar Indonesia. Karena ketidaktahuan dan teknologi Indonesia yang pada saat itu masih tertinggal, Indonesia tidak dapat menyadari bahwa ada sumber daya alam yang sangat besar disana. Karena ketidaktahuan itu pula, Indonesia menandatangani kontrak tanpa memahami apa dampak dari kontrak tersebut. Kini saat teknologi dan pengetahuan Indonesia telah meningkat, barulah menyadari seberapa banyak kerugian yang kita alami. Bukankah sebuah ironi bila kekayaan dari bumi sendiri dikeruk dan menyejahterakan bangsa asing sedangkan bangsa sendiri hanya mendapat sebagian kecil dari hasilnya?
Agar dapat memerdekakan bangsa, masyarakat Indonesia seharusnya terlebih dahulu memerdekakan diri sendiri. Memerdekakan diri sendiri memang memiliki arti yang beragam, salah satu diantaranya adalah melepaskan diri dari segala pengaruh yang menahan langkah untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Banyak yang mengira memerdekakan diri sendiri ini hanya berlaku untuk hal-hal yang besar, padahal hal-hal kecil pun termasuk didalamnya. Contoh yang sangat sesuai dengan warga Indonesia saat ini adalah terbelenggu dengan berbagai macam gadget sehingga tanpa sadar sebagian besar waktu hanya digunakan untuk memainkan benda tersebut. Bila sehari saja tidak bermain gadget maka terasa hampa. Tanpa sadar mengabaikan lingkungan sekitar hingga rasa kepedulian terhadap keadaan sekitar yang semakin memudar karena binasa dengan gadget. Bagaimana ingin memajukan negara jika setiap hari hanya terpaku pada gadget dan acuh tak acuh terhadap keadaan sekitar?
Perlulah sejenak merasakan keadaan sekitar. Di salah satu lampu merah Kota Semarang, seorang anak kecil masih SD berpakaian lusuh mengenakan rompi bertuliskan nama koran daerah, ia menjual koran untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.“Mbak, cuman seribu untuk makan,” rintih anak itu.
Tak hanya itu, di sebuah kafe saya mendapati anak-anak muda bersenang-senang merayakan hari ulang tahun salah seorang dari temannya. Meja makannya lengkap dengan kue tart, es krim, beserta sajian makanan lainnya. Mereka berfoto selfie dengan smartphone canggihnya. Lima ratus meter dari sana di pinggiran jalan raya, saya mendapati seorang bapak beserta anaknya berpakaian lusuh. Anaknya tengah tidur di pangkuan bapaknya dengan beralaskan kain, beratapkan langit yang mendung, dengan derap klakson motor maupun mobil mewah yang tak satu pun mengiba.
Kepedulian terhadap keadaan sekitar memang dirasa sangat perlu walau sebenarnya yang paling bertanggungjawab terhadap keaadaan seperti yang saya tunjukkan diatas adalah pemerintah. Tapi percayalah kita bisa mengubahnya melalui hal-hal kecil dengan peduli terhadap keadaan sekitar. Sekarang saatnya mengubah pertanyaan yang selalu kita lontarkan tiap tahun. Jangan bertanya “Apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka?” tetapi bertanyalah kepada diri sendiri, “Apakah saya sudah benar-benar merdeka sehingga saya bisa memerdekakan Indonesia?” Selamat hari kemerdekaan Indonesia yang ke-72.
(Megarosa)
bagus tulisanya, ?