Mandirilah Sebelum di Mandirikan

“Mandirilah sebelum engkau dimandirikan”

Nasehat itu terus menggema dalam benakku, tiap kali ku fikirkan cita-citaku. Aku ingin terbang melintasi jagad raya, menembus jutaan cahaya, hingga akhirnya aku dapat melihat puluhan planet dan bebatuan angkasa. Dengan mata kepalaku sendiri, aku ingin menyaksikan berbagai kuasa Tuhan.

Tapi pada akhirnya, cita-cita itu kandas hanya dalam waktu lima menit. Selama tujuh belas tahun pupus mimpiku karena aku mengenalnya. Bujukan kawanku yang baru saja kukenal sebulan lalu, telah mengantarku pada jerat setan bernama narkoba.

Benda itu tak hanya menghancurkan mimpi dan semangatku, namun juga menghancurkan seluruh hidupku. Goresan tinta prestasi dan mimpi-mimpi indah yang telah ku tanamkan dalam kebanggaan keluargaku, seolah menjadi butiran debu yang tertiup angin. Semuanya telah menjadi kesia-sian dan keputus-asaan yang tak berujung.

Sendiri, ku meringkuk dalam kamar gelan nan pengap.

Berbagai jenis pil terlarang dan jarum suntik tersebar di setiap sudut ruangan. Aroma khas alkohol tercium di mulut botol-botol wiskey tepat di samping kananku. Tiga tahun sudah semenjak mimpi itu pupus, sendirian ku menikmati dunia semu.

Entah mengapa nasehat itu kerap kali menggema dalam benakku. Harusnya Tuhan mengirimkan wangsit berupa kata-kata semacam “tobatlah sebelum kau mati” atau “jangan sia-siakan umurmu!”, Mungkin Dia punya rencana sendiri padaku atas kalimat itu. Namun tiap kali ku merenungkannya, hampa terasa tanpa makna.

‘Tililit’ suara ponselku berbunyi

Dengan lesu, kuangkat ponselku.”Halo Ren. Tumben nelpon malam-malam gini?”

“Malam-malam, sialan! Hari gini udah jam 12 siang tauk! Lu masih inget kan kalo punya utang ama gua kan, hah?!” Suara Rendi dari ponsel amat ketus. Maklumlah, hutangku padanya sudah terlalu menumpuk.

“Ingat lah. Hari ini batas bayarnya kan? Berapa?”

“Lima juta tambah bunga lima ratus ribu. Jangan sekali-kali elu kabur lagi ya! Gua tunggu elu di tempat biasa. Kalo sampe elu gak datang, bakal gua habisin pala lu!”

“Baiklah”

‘Tiit’ sambungan terputus.

Rendi, manusia laknat yang telah menjebakku pada narkoba. Bila diumpamakan, dia layaknya ular yang terlihat tenang, namun memiliki bisa mematikan tanpa pandang bulu pada siapapun. Aku terkena racunnya. Pergaulanku yang salah, menjadi penyebab aku mengenalnya.

‘Mandirilah sebelum engkau dimandirikan’

Apa maksud Engkau mengulang-ulang kalimat itu dalam benakku, Tuhan? Diriku tengah dalam kesusahan sekarang , tapi kau tak kunjung memberiku petunjuk seperti manusia kebanyakan. Bagaimana aku bisa mandiri sedangkan aku terlalu jauh terposok ke dalam lembah nista? Setidaknya, berikan aku uang untuk menyumpal mulut busuk Rendi agar aku dapat segera kembali padamu!

Terpengkur, kupeluk lututku erat. Aku salah telah menyalahkan Tuhan atas kesalahanku sendiri. Terlalu hina diriku. Tak pantas rasanya bila aku kembali pada- Nya.

Lima juta ditambah bunga lima ratus ribu, cash, hari ini juga. Padahal uangku habis tanpa sisa. Tapi, aku tak terlalu khawatir karena aku masih punya motor butut untuk kujual.

Kuangkat badanku perlahan menuju meja. Dengan mata sayu, sebuah kunci kuambil. Sekarang juga aku akan pergi.

Tanpa helm dan masih awut-awutan, aku pergi mengendarai motorku. Aroma busuk alkohol menguar kemana-mana. Persis seperti pengemis yang tak pernah mandi, itulah diriku.

Sesekali kugaruk tubuhku yang bentol-bentol merahnya semakin banyak. Tak jarang pula kedua mataku ini memandang buram, akibat terlalu lama mendekam dalam kamar.

Jalanan ramai berkelok-kelok. Tempat kostku berada di atas bukit, sementara dealer motor ada di kota, di kaki bukit. Roda-roda gerigi berputar dengan cepat sepanjang jalan menuju ke bawah. Untuk berhati-hati karena masih sayang nyawa, kecepatanku ku atur sedikit lambat.

Tapi kedua mataku terasa berat. Pandanganku ke depan semakin buram, memecahkan konsentrasiku. Kantuk menyerangku tiba-tiba. Masih teler kepalaku karena alkohol. Pening menjalar memenuhi setiap inci otakku, ditambah lagi badanku yang sempoyongan. Sekarang aku tak bisa mengatur kecepatan.

Pada belokan tajam, jalanan sepi. Tepat di ujung sana terdapat jurang yang amat dalam. Makin dekat dengan ujung kelokan, makin cepat kedua roda motor berputar. Yah, kurasa aku makin dekat dengan Tuhan. Tak masalah sepertinya.

‘Brakk! Duash!’

Pembatas jalan sukses kutabrak. Aku terpelanting berputar-putar seiring hembus angin menerpa wajah. Kudengar samar raungan motor yang terlepas dari genggamanku, ikut mengiringi jatuhnya badanku tepat ke dalam jurang. Tanpa penyesalan, sepertinya aku akan dijemput oleh maut.

‘Drakk!’

Badanku jatuh menggelinding sepanjang jurang. Perih akibat luka-luka menjalari setiap inci badanku. Semak belukar dan bebatuan tajam mencabik-cabik sekujur badan, memuncratkan aliran darah. Namun sebuah pohon yang tumbuh dibalik bebatuan, menghentikan badanku. Ujung kerah bajuku tersangkut pada rantingnya. Badanku melayang-layang.

Samar, kudengar suara motorku jatuh berdebum. Empat tahun benda itu menemani suka-dukaku, sepertinya enggan untuk menjadi tebusan utangku. Sialan, mengapa aku sekarang masih hidup? Memikirkan nasib hidupku yang makin tak jelas dan hanya ada keputus-asaaan, lebih dari cukup sebagai alasan untuk mati.

Darah perlahan mengalir di permukaan wajahku.

Pada akhirnya aku menyerah, aku menyerah dengan semua ini. Kuterima apa adanya tentang segala yang telah terjadi. Tuhan telah menetapkan cobaan padaku guna menguji, apakah dengan takdir pahit-Nya hamba ini takkan melupakannya. Ujian yang ia ciptakan dimaksudkan untuk membuatku semakin kuat menjalani hidup. Hanya saja, aku terlalu bodoh menyadarinya.

Memang selama tujuh belas tahun hidupku yang lalu, kuhabiskan untuk bersenang-senang memperlemah diri. Segala macam prestasi dan kebanggaan kutorehkan hanya sebagai pamer akan tingginya hatiku. Terlalu banyak gaya dan terlena akan dunia, membuat cita-citaku makin redup.

Perlahan, kudongakkan kepalaku menatap birunya langit. Kulihat awan bergulung-gulung dalam cakrawala, puluhan burung-burung camar melintasi angkasa, serta cahaya Tuhan yang menelisik diantara rimbun dedaunan dan gedung-gedung tinggi. Semuanya begitu indah! Perlahan semangatku terpompa kembali. Cita-citaku dulu, ingin kulihat semua yang lebih tinggi dari pada itu. Aku harus bisa menggapainya.

Tangan Tuhan akan senantiasa menerima hamba-Nya yang ingin kembali, aku masih mengingat kalimat itu, “Mandirilah sebelum kau dimandirikan” bukanlah ejekan yang Tuhan lontarkan, namun sebagai pintu guna menuju pada-Nya. Ketika menggapai Hidayah, haruslah dengan semangat dan kemandirian. Kalau tidak maka Tuhan akan memandirikanmu dengan cobaan agar kau kembali pada-Nya.

Dalam dada aku bertekad untuk terus hidup secara nyata. Akan kutinggalkan semua kehidupan kelamku, menuju ke arah cahaya Ilahi. Benih-benih mimpi melintasi jagad cakrawala ku semai dalam dada. Walau harus menghadapi kejamnya takdir dan deru badai cobaan setelah ini, tak ada kata menyerah untuk kembali bangkit!

‘Tililit’ kembali ponselku berdering. Ku angkat benda itu dari saku celana. Dari Rendi.

“Aji, kau mengecewakan. Terlambat sepuluh menit sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk menghabisimu sekarang!”

Aku tersenyum. Kini Tuhan coba mengujiku kembali.

Advertisements

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *